Minggu, 21 Februari 2010

Tugas Tambahan nadya pradita 2241.07.194


BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1. Kajian Pustaka
2.1.1. Motivasi Kerja Aparat
2.l.1.1. Konsep Motivasi Kerja
Untuk mengetahui lebih luas tentang masalah motivasi, berikut ini akan
dikemukakan beberapa pengertian tentang motivasi. Motivasi dapat ditafsirkan
dan diartikan berbeda oleh setiap orang sesuai dengan tempat dan situasi dari
masing-masing orang itu serta disesuaikan dengan perkembangan peradaban
manusia. Namun ditinjau dari aspek taksonomi, motivasi berasal dari bahasa latin
yaitu “movere” yang artinya bergerak. Menurut Winardi, (2001 : 1), istilah
motivasi berasal dari perkataan bahasa latin, yakni movere yang berarti
“menggerakkan” (to move). Dengan demikian secara etimologi, motivasi
berkaitan dengan hal-hal yang mendorong atau menggerakan seseorang untuk
melakukan sesuatu. Harold Koontz dan Heinz Weihrich, (1988 : 411) juga
mengemukakan pendapatnya tentang motivasi sebagai berikut :
Motivation is a general trem applying to the entire class of drives, desire,
needs, wishes and similar forces. To say thad managers motivate
theirsubordinates is to say thad they do those things which they hope will
satisfy these drives and desires and induce the subordinates to act in
a desired manner.
Yang terjemahannya: Motivasi adalah suatu pengertian umum yang
menggunakan seluruh klas tentang dorongan, keinginan, kebutuhan, harapan
dan kekuatan-kekuatan sejenisnya. Untuk mengatakan bahwa para manajer
memotivasi bawahan mereka adalah dengan mengatakan bahwa mereka
mengerjakan hal-hal yang mereka harapkan akan memuaskan dorongan dan
keinginan ini dan mendorong bawahan untuk bertindak dengan suatu cara
yang diinginkan.


8
Dengan demikian maka istilah motif sama artinya dengan kata-kata motive,
motif, dorongan, alasan dan lain-lain. Sarwoto (1987 : 167) mengemukakan
pengertian motivasi sebagai berikut :
Secara konkrit motivasi dapat diberikan batasan sebagai proses pemberian
motif (penggerakkan) bekerja sebagai karyawan sedemikian rupa sehingga
mereka mau bekerja dengan ikhlas demi tercapainya tujuan-tujuan
organisasi secara efisien, memberi motivasi adalah pekerjaan yang
dilakukan oleh seorang manajer dalam memberikan inspirasi, semangat
kerja dan dorongan kepada orang lain untuk bekerja lebih baik.
Hal ini sejalan dengan pendapat Winardi (2000 : 40) yang menyatakan bahwa :
Motivasi berkaitan dengan kebutuhan. Kita sebagai manusia selalu
mempunyai kebutuhan yang diupayakan untuk dipenuhi. Untuk mencapai
keadaan termotivasi, maka kita harus mempunyai tindakan tertentu yang
harus dipenuhi, dan apabila kebutuhan itu terpenuhi, maka muncul lagi
kebutuhan-kebutuhan yang lain hingga semua orang termotivasi.
Dihubungkan dengan artikata asal motivasi tersebut menunjukan bahwa
suatu motif merupakan keadaan kejiwaan yang mendorong atau menggerakan
seseorang untuk bersikap dan berperilaku guna mencapai tujuan, baik individu
maupun organisasi. Oleh karena itu secara garis besar dapat dikatakan bahwa
motivasi setidaknya mengandung tiga komponen utama yakni kebutuhan, motif
dan tujuan.
Menurut Victor H. Vroom (Ndraha, 1999a : 147-148) mengemukakan
bahwa:
Motivasi adalah produk tiga faktor, Valence (V), menunjukan seberapa kuat
keinginan seseorang untuk memperoleh suatu reward, misalnya jika hal
yang paling didambakan oleh se-seorang pada suatu saat, promosi, maka itu
berarti baginya promosi menduduki valensi tertinggi; Expectancy (E),
menunjukan kemungkinan keberhasilan kerja (performance probability).
Probability itu bergerak dari 0, (nol, tiada harapan) ke 1 (satu, penuh
harapan). Instrumentality (I), menunjukkan kemungkinan diterimanya
reward jika pekerjaan berhasil.


9
Sedangkan Atkinson (dalam Scott, 1971 : 80) mengemukakan pendapatnya
tentang motivasi sebagai berikut:
Motivational strength, according to Atkinson is a function of three variables
which expressed as follows; Motivation = f (motive x expectancy x incentive)
the term of equation mean :
1. Motive refers to general dispotion of the individual to strive for the
satisfaction of the need. It represent the urgency of the need for
fulfilment.
2. Expectancy is the subjective calculation of the probability that a given
act wills succehoped for by obtaining the goal.
3. Incentive is the subjective calculation of the value of the reward hoped
for by obtaining the goal
Yang artinya : Kekuatan motivasi itu, menurut Atkinson adalah suatu fungsi
dari tiga variabel yang dijelaskan sebagai berikut :
Motivasi = f (motif x pengharapan x insentif).
Istilah tersebut berarti sama dengan :
1. Motif menunjukan kecenderungan yang umum dari individu untuk
mendorong pemuasan kebutuhan. Ia mewakili kepentingan tentang
pemenuhan kebutuhan.
2. Pengharapan adalah kalkulasi subyektif tentang kemungkinan tindakan
tertentu yang akan berhasil dalam memuaskan kebutuhan (mencapai
tujuan).
3. Insentif adalah kalkulasi subyektif tentang nilai pengharapan bagi
pencapaian tujuan.
Berikut, akan dijelaskan konsep tentang motivasi kerja. Menurut
George Thompson (dalam Ndraha, 1999 : 187) konsep kerja didefinisikan sebagai
berikut :An activity which demands the expenditure of energy or effort to create
from “raw materials” those products or services which people value. Dapat juga
dikatakan, kerja adalah proses penciptaan nilai pada suatu unit sumber daya.
Tentang pendirian (anggapan dasar, kepercayaan dasar) tentang kerja
Taliziduhu Ndraha (1999b : 189-192) mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut :
1. Kerja adalah hukuman;
2. Kerja adalah upete;


10
3. Kerja adalah beban;
4. Kerja adalah kewajiban;
5. Kerja adalah sumber penghasilan;
6. Kerja adalah kesenangan;
7. Kerja adalah status;
8. Kerja adalah prestise atau gensi;
9. Kerja adalah harga diri;
10. Kerja adalah aktualisasi diri;
11. Kerja adalah panggilan jiwa;
12. Kerja adalah pengabdian;
13. Kerja adalah hidup, dan juga sebaliknya hidup adalah kerja;
14. Kerja adalah ibadah. Kerja merupakan pernyataan syukur atas hidup
didunia ini. Kerja dilakukan seakan-akan kepada dan bagi orang bekerja
penuh enthusiasme.
15. Kerja itu (adalah) suci.
Pendapat-pendapat tersebut di atas mengarahkan kita kepada suatu
pemahaman bahwa “kerja” merupakan suatu proses kegiatan yang didasarkan
pada suatu dorongan tertentu, baik dari dalam diri maupun dari luar diri dalam
rangka suatu keputusan batin atau perolehan suatu nilai baru yang dapat
bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun lingkungannya. Berikutnya akan
dikemukakan pengertian motivasi kerja. Menurut pendapat Udai Pareek (1984 :
110), motivasi kerja adalah suatu yang menyebabkan orang mau bekerja keras
karena ia mempunyai kebutuhan besar akan persaingan dan memenuhi tentang itu.
Sedangkan Moh. As’ad (1981 : 44) juga mengemukakan pendapatnya bahwa
motivasi kerja adalah sesuatu yang menimbulkan semangat atau dorongan kerja
kuat dan lemahnya motivasi kerja seseorang tenaga kerja ikut menentukan
besar kecilnya prestasinya.
Keragaman pendapat di atas dikemukakan berdasarkan cara pandang dan
latarbelakang penelitian masing-masing ahli. Namun pada prinsipnya
menunjukkan bahwa dalam melakukan aktifitasnya, manusia sebenarnya


11
digerakkan atau didorong oleh sesuatu motif atau kepentingan yang bersumber
dari adanya kebutuhan dan keinginan yang harus dipenuhi. Dengan adanya
kebutuhan itu, menimbulkan niat untuk memenuhinya, sehingga mendorong
seseorang untuk beraktifitas yang pada gilirannya menimbulkan keinginan serta
semangat yang kuat untuk bekerja dan berusaha dalam proses pemenuhannya.
Jika aktifitasnya dapat memenuhi kebutuhannya, maka ia akan berperilaku atau
bersikap mendukung secara ikhlas dan berupaya untuk merealisasikannya.
Sebaliknya, jika sesuatu keinginan tersebut berlawanan atau dipandang tidak
menyentuh keinginan seseorang, maka akan berperilaku acuh atau masa
bodoh, meninggalkan bahkan berupaya menghalanginya. Dalam konteks ini
Hersey and Blanchard (1995 : 15) mengemukakan bahwa :
Adanya perilaku manusia pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk
memperoleh tujuan teretentu. Apabila seseorang sudah siap beraktifitas
untuk kebutuhannya itu, maka dorongan sedikitpun perlu dimilikinya untuk
membuatnya dapat bergerak.
Suatu fenomena yang sering kita lihat dalam birokrasi pemerintahan kita
saat ini bahwa para pimpinan unit kerja senantiasa menghadapi masalah yakni
muncul perbedaan kinerja antara bawahan yang satu dengan lainnya. Mengingat
bahwa setiap tindakan seorang pimpinan dalam suatu organisasi dapat
memberikan stimulasi reaksi para bawahan, maka tidak ada pilihan lain harus
dilakukan motivasi agar bawahan dapat memiliki kinerja. Persoalannya adalah
bagaimana melakukannya, apakah tindakan yang dilakukan akan efektif sehingga
bawahan dapat bekerja bagi pencapaian tujuan organisasi. Berkaitan dengan
tersebut, Winardi (2001 : 4) mengutip pendapat James Gibson bahwa : motivasi
merupakan sebuah konsep yang kita gunakan, apabila kita menerangkan


12
kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi seseorang individu, atau yang ada dalam
diri individu tersebut, yang menginisiasi dan mengarahkan perilaku.
Pendapat itu seiring dengan Davis dan Newstroom (1996 : 87)
mengemukakan bahwa :
Setiap orang cenderung mengembangkan pola motivasi tertentu sebagai
hasil dari lingkungan budaya tempat orang itu hidup. Pola ini merupakan
sikap yang mempengaruhi cara orang-orang memandang pekerjaan dan
menjalani kehidupan mereka. Empat pola motivasi yang sangat penting
adalah : prestasi, afiliasi, kompetensi dan kekuasaan. Prestasi adalah
dorongan untuk mengatasi tantangan untuk maju dan berkembang. Afiliasi
adalah dorongan untuk berhubungan dengan orang-orang secara efektif.
Kompetensi adalah dorongan untuk mencapai hasil kerja dengan kualitas
tinggi. Kekuasaan adalah dorongan untuk mempengaruhi orang-orang dan
situasi.
Lebih lanjut, Davis dan Newstroom (1996 : 90) mengemuakan bahwa :
Pendekatan motivasi yang diterima secara luas adalah model harapan
(expectancy model), juga dikenal sebagai teori harapan yang dikembangkan
oleh Victor H. Vroom dan telah diperluas dan disempurnakan oleh
Poster dan Lawler serta yang lain. Vroom menjelaskan bahwa motivasi
adalah hasil dari tiga faktor : seberapa besar seseorang menginginkan
imbalan (valensi), perkiraan orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya
yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan),dan
perkiraan bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan
(instrumentalitas).
Berdasarkan gagasan Davis dan Newstroom itu, menggambarkan bahwa
seseorang mau bekerja untuk kepentingan organisasi, apabila dapat
meyakini bahwa apa yang dilakukan itu akan memberikan harapan akan
diperolehnya. Dengan demikian semakin jelas bahwa motivasi sangat erat
kaitannya dengan kebutuhan, keinginan, dan harapan
Berkaitan dengan pentingnya motivasi dalam kehidupan individu manusia,
Ndraha ( 1999 : 24) mengemukakan :
Bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan (kepentingan). Keharusan untuk
memenuhi kebutuhan mendorong manusia untuk bekerja.Keinginan (want)
yang terarah pada alat-alat yang dianggap dapat mendukung kehidupan
disebut kebutuhan (need). Kebutuhan manusia telah dipelajari oleh penulis
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), antara lain Abraham Maslow
“ A theory of Human Motivation”. Dalam psychological review


13
(vol. 50, 1943) dan motivation and Personality (1954), skala kebutuhan
bersifat hirarkhis, mulai dari yang paling mendasar yaitu basic physical
need, sampai pada self-actualization and fulfillment, yaitu yang paling tinggi
nilainya, sebagai berikut :
1. basic physical needs
2. safety and security
3. belonging ang social needs
4. esteem and status
5. self actualization and fulfillment
.
Selanjutnya Ndraha (1999 : 25) mengemukakan bahwa dalam praktek,
orang tidak harus menunggu sampai kebutuhan butir 1 terpenuhi baru
mengusahakan pemenuhan butir 2 dan seterusnya. Kebutuhan 1, 2 dan 5 misalnya
dapat diupayakan serentak. Bagi karyawan tingkat rendah, memang kebutuhan
butir 1 menempati skala prioritas utama, tetapi pada tingkatan pejabat tinggi
barangkali butir 5. Jadi bagi setiap orang mempunyai skala kebutuhan sendiri.
Bertolak dari pendapat para ahli tersebut maka yang dimaksudkan dengan
motivasi kerja adalah keseluruhan fungsi dari motif, pengharapan, insentif yang
dapat menimbulkan suatu kekuatan berupa dorongan kerja bagi seseorang
sehingga tujuan organisasi tercapai secara efektif. Sehubungan dengan itu penulis
mengambil dimensi-dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur variabel
motivasi kerja aparat yakni : motif, pengharapan, dan insentif
2.1.2. Dimensi motivasi kerja aparat
2.1.2.1. Dimensi Motif
Menurut William G. Scott (1971 : 89) motive adalah :
Motives are unsatiesfied need which prompts an individual toward the
accomplishment of applicable goals. (motif adalah kebutuhan yang belum
terpuaskan yang mendorong individu untuk mencapai tujuan tertentu). Selain itu


14
menurut Veitzal (2004 : 462), motif adalah faktor-faktor yang ada di dalam
individu yang menyebabkan mereka bertingkah laku tertentu.
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa
motif (motive) adalah suatu dorongan yang ada dalam diri seseorang sehingga
yang bersangkutan dapat beraktivitas atau berperilaku untuk mencapai tujuan
yang ia inginkan. Bila ditelusuri lebih jauh maka alasan yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu itu, karena yang bersangkutan mempunyai
kebutuhan yang mendesak untuk dipenuhinya, baik kebutuhan lahiriah maupun
kebutuhan batiniah dibalik kehidupan ini. Kebutuhan tertentu yang mereka
rasakan akan menentukan tindakan yang mereka lakukan. Untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut, manusia melakukan suatu pekerjaan untuk memenuhi
kebutuhannya.
Maslow berpendapat (dalam Gibson, et al, 1986 : 92) : Inti dari teori
Maslow adalah bahwa kebutuhan itu tersusun dalam suatu hirarki. Tingkat
kebutuhan yang paling rendah adalah kebutuhan fisiologis dan tingkat yang
tertinggi adalah kebutuhan realisasi diri (self actualization needs).
Kebutuhan-kebutuhan ini dapat diartikan sebagai berikut :
1. Fisiologis : kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, dan bebas
sakit.
2. Keselamatan dan keamanan (safety and security) : kebutuhan akan
kebebasan dari ancaman, yakni aman dari ancaman kejadian/ atau
lingkungan.
3. Rasa memiliki (belongingness) sosial dan cinta : kebutuhan akan teman,
afiliasi, interaksi, dan cinta.
4. Penghargaan (esteems) : kebutuhan akan penghargaan diri, dan
penghargaan dari orang lain
5. Realisasi diri (self actualization) : kebutuhan untuk memenuhi diri
sendiri dengan penggunaan kemampuan maksimum, ketrampilan dan
potensi.


15
Teori Maslow berasumsikan bahwa seseorang berusaha memenuhi
kebutuhan lebih pokok (fisiologis) sebelum berusaha memenuhi kebutuhan yang
tertinggi (realisasi diri). Kebutuhan yang lebih rendah harus dipenuhi terlebih
dahulu sebelum kebutuhan yang lebih tinggi mulai mengendalikan perilaku
seseorang.
Sedangkan Fred Luthans (dalam Thoha, 1983 : 223) dengan mengubah
hirarki kebutuhannya Maslow kedalam tatanan model motivasi kerja,
mengemukakan bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia dalam bekerja dapat
dibedakan sebagai berikut ;
1. Kebutuhan fisik, misalnya: gaji, tunjangan, honorarium, bantuan
pakaian, perumahan, uang transportasi dan lain-lain.
2. Kebutuhan keamanan, misalnya : jaminan masa pensiun, santunan
kecelakaan, jaminan asuransi kesehatan dan sebagainya.
3. Kebutuhan sosial atau afiliasi, misalnya : kelompok formal atau
informal, menjadi ketua yayasan, ketua organisasi, dan lain-lain.
4. Kebutuhan akan penghargaan, misalnya status, simbol-simbol,
perjamuan dan sebagainya.
5. Kebutuhan dan aktualisasi diri.
Sejalan dengan pendapat tersebut, oleh Maslow (dalam Paul Hersey, Ken
Blanchard, 1988 : 35-47) dalam pendapatnya menyatakan bahwa :
1. Pemenuhan kebutuhan fisiologis (tempat tinggal, makanan, pakaian).
2. Kebutuhan rasa aman meliputi : asuransi kesehatan, kecelakaan, dan
jiwa serta program pensiun.
3. Kebutuhan sosial/ afiliasi meliputi : suka berhubungan dan bergabung
dengan orang lain dalam situasi-situasi dimana mereka merasa bagian
dari yang lain dan diterima dengan baik.
4. Penghargaan (prestise : ingin dipandang penting, kuasa : melalui jabatan
dan pribadi).
5. Perwujudan diri : melalui kompetensi yakni kemampuan mengendalikan
faktor-faktor lingkungan dan prestasi melalui kepuasan dalam berhasil
memecahkan masalah yang sukar selain pujian.


16
Sarundajang (1999 : 95) berpendapat bahwa :“ Pemberian kompensasi yang
belum memenuhi kebutuhan pegawai berakibat rendahnya motivasi kerja dan ini
merembet kepada pencapaian dan pelaksanaan tugas. Ada cara lain selain
pendekatan tersebut untuk memotivasi atau mendorong bawahan. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Ndraha (1999a : 182) sebagai berikut :
Cara untuk mengatasi kelemahan berbagai pegangan lain itu ialah
menanamkan dan mempertumbuhkan didalam diri orang yang bersangkutan
kesadaran (kesadaran etik) dan pengakuan bahwa kerja adalah kewajiban
(duty), wajib untuk dilakukan, lepas dari dorongan dari luar, reward atau
punishment yang dijanjikan atau diancamkan.
Pendapat Ndraha tersebut menunjukan bahwa kesadaran etik atau yang
disebut kesadaran otonom tumbuh dari dalam diri sendiri dan dalam menghadapi
suatu tugas, yang bersangkutan menganggap tugas yang diembannya merupakan
suatu panggilan pelayanan terlepas dari perhitungan untung rugi.
Berdasarkan uraian tentang motif yang dikemukakan para ahli di atas, maka
untuk mengukur sub variabel motif ditetapkan indikator-indikator antara lain gaji
cukup, nyaman bekerja, aktualisasi diri dan kesadaran etik.
2.1.2.2. Dimensi Pengharapan
Harapan (expectation) merupakan kemungkinana bahwa dengan perbuatan
seseorang akan mencapai tujuan. Menurut Vroom (dalam Robbins, 2001 : 171),
harapan adalah kecenderungan seseorang untuk bekerja secara benar tergantung
pada kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan adanya
imbalan, fasilitas yang menarik. Harapan dinyatakan dengan adanya kemungkinan
(probabilitas) bila keyakinan yang diharapkan cukup besar untuk memperoleh
kepuasannya, maka seseorang akan bekerja keras.


17
Pendapat di atas menunjukkan bahwa setiap karyawan dalam organisasi
memiliki harapan-harapan tertentu dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik
harapan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan perorangan, kolektif
ataupun tercapainya tujuan organisasi. Mengenai harapan pekerja,
Steers (1985 : 19) mengatakan bahwa :
Kebanyakan pekerja mempunyai pendapat tertentu mengenai yang mereka
harapkan dari pekerjaan. Pendapat tersebut meliputi : kenaikan gaji atau
promosi tertentu, pekerjaan yang penuh tantangan dan menarik,
mendapatkan teman-teman yang baru dan seterusnya.
Sejalan dengan pendapat itu, Stoner, dkk (1996 : 148) mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut :
Tingkah laku seseorang sampai tingkat tertentu akan tergantung, pada tipe
hasil yang diharapkan. Beberapa hasil yang berfungsi sebagai imbalan
intrinsik-imbalan yang dirasakan langsung oleh orang yang bersangkutan.
Contohnya adalah peranan yang berhasil menunaikan tugas, harga diri
naik, imbalan ekstrinsik, sebaliknya, seperti bonus, pujian, atau promosi
yang diberikan oleh pihak luar.
Berikutnya Kenneth Wexley dan Gary A.Yuki (1988 : 112) mengemukakan
lebih rinci hasil-hasil yang dikaitkan dengan kebutuhan atau pengharapan yaitu :
1. Peningkatan upah
2. Kenaiakn pangkat
3. Pemberhentian sementara
4. Penghargaan/pengakuan
5. Keputusan intrinsik
6. Penerimaan teman kerja
Dengan mengacu pada pendapat-pendapat tersebut, penulis menggunakan
indikator-indikator dalam pengukuran dimensi pengharapan antara lain rasa ikut
memiliki, penghargaan, kerja yang menyenangkan dan pengembangan diri.


18
2.1.2.3. Dimensi Insentif
The Liang Gie (1968 : 126) mengatakan bahwa : “Insentif atau perangsang
pemberian baik berupa uang maupun fasilitas kepada seseorang dengan tujuan
agar dapat melakukan tugasnya lebih baik dan giat”. Sedangkan Buchari Zainun
(1981 : 17) mengatakan bahwa “pada dasarnya insentif adalah perangsang dimana
perangsang atau insentif ini dapat dipandang sebagai alat untuk memenuhi atau
memuaskan kebutuhan”. Selanjutnya Ndraha (1999a : 126) menyebutkan bahwa
“insentif adalah perangsang yang bersumber dari luar diri manusia”.
Pengertian insentif ini meliputi uang dan fasilitas, yang diberikan kepada
seseorang dengan maksud agar orang yang bersangkutan lebih bergairah dalam
melakukan pekerjaan yang diembankan kepadanya. Pengertian yang hampir sama
dikemukakan oleh Dubin (1988 : 213), Incentives are the inducement placed the
course of an going activities, keeping the activities toward directed one goal
rather than another. Yang artinya; insentif adalah perangsang yang menjadikan
sebab berlangsungnya kegiatan, memelihara kegiatan agar mengarah langsung
kepada satu tujuan yang lebih baik dari yang lain.
Berikut pendapat Udai Pareek (1984 : 144) mengartikan insentif ini sebagai
ganjaran. Dimana dikatakan bahwa “peran ganjaran sangat penting dalam
motivasi kerja”. Adapun bentuk dari insentif itu ada bermacam-macam, yang pada
garis besarnya dapat dibedakan dalam bentuk insentif yang bersifat material dan
non material.
Pendapat Arifian Abdurachman (1971 : 86) merinci insentif material ini
sebagai berikut :


19
1. Kenaikan gaji berkala
2. Kenaikan pangkat diikuti kenaikan gaji;
3. Hadiah-hadiah dalam bentuk uang/fasilitas.
Sedangkan insentif non material, menurut Peterson dan Plowman (dalam
Manulang, 1964 : 189) memiliki dua elemen pokok yaitu :
1. Keadaan pekerjaan yang memuaskan, yang meliputi tempat kerja, jam
kerja, tugas dan teman-teman kerja;
2. Sikap pemimpin terhadap kegiatan masing-masing pegawai seperti
jaminan, hubungan dengan atasan.
Manakala disadari bahwa suatu organisasi tidak mungkin memenuhi semua
kebutuhan bawahan atau pegawai sebagaimana insentif yang diuraikan diatas,
sehingga tentu saja pemberian insentif juga disesuaikan dengan kondisi dan
kemampuan organisasi. Walupun demikian apakah insentif yang diberikan kepada
seseorang itu mempunyai arti sehingga mampu mendorong orang yang
bersangkutan untuk mau bekerja lebih giat pada waktu dan tempat tertentu.
Berdasarkan uraian tentang insentif dari beberapa ahli, penulis dapat
menetapkan indikator-indikator berikut sebagai penjabaran dari dimensi insentif
antara lain pencapaian/prestasi, upah dan gaji, tunjangan dan promosi.
2.1.3. Kualitas Layanan Civil
2.1.3.1. Konsep Pelayanan
Istilah dan konsep pelayanan banyak ditemui dalam berbagai aspek
kehidupan manusia dewasa ini. Keragaman istilah dan konsep pelayanan
menandakan ketertarikan para ahli untuk memberikan kontribusi terhadap
perkembangan konsep pelayanan itu sendiri. Istilah-istilah tersebut antara lain
pelayanan umum, pelayanan publik, pelayanan civil, pelayanan prima, dan lain


20
sebagainya. Berbagai konsep mengenai pelayanan banyak dikemukakan oleh para
ahli, seperti Moenir 2002 : 16), pelayanan adalah “proses pemenuhan kebutuhan
melalui aktivis orang yang berlangsung”. Pada bagian lain dikatakan bahwa :
Pelayanan umum adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau
sekelompok orang dengan landasan faktor materiil melalui sistem, prosedur
dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain
sesuai dengan haknya.
Pelayanan itu adalah proses dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia
sesuai dengan haknya. Kata “umum” dalam “pelayanan“ menunjukkan
masyarakat, orang banyak, yang punya kepentingan, terjemahan dalam Bahasa
Inggris “Publik” kalau dihubungkan dengan kata pelayanan maka menjadi
pelayanan umum (public service) atau pelayanan publik. Adapun pengertian
pelayanan umum sebagaimana dikemukakan oleh Saefullah (1999 : 5, 8) yakni :
Pelayanan umum (public service) adalah pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat umum yang menjadi warga negara atau secara sah menjadi penduduk
negara yang bersangkutan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa secara operasional pelayanan umum yang
diberikan pemerintah kepada masyarakat dapat dibedakan dalam dua kelompok
besar yaitu :
Pertama, pelayanan umum yang diberikan memperhatikan orang-
perseorang, tetapi keperluan masyarakat secara umum. Dalam pelayanan ini
meliputi penyediaan sarana dan prasarana transportasi, penyediaan pusat-
pusat kesehatan, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, pemeliharaan
keamanan dan lain sebagainya; Kedua, pelayanan yang diberikan secara
orang perseorangan, pelayanan ini meliputi kemudahan-kemudahan dalam
memperoleh pemeriksaan kesehatan, memasuki lembaga pendidikan,
memperoleh kartu tanda penduduk dan surat-surat lainnya, pembelian karcis
perjalanan, dan sebagainya.


21
Jadi pengertian pelayanan umum atau pelayanan publik dibedakan atas
pelayanan untuk kepentingan masyarakat secara umum dan pelayanan untuk
kepentingan perorangan atau individu.
2.1.3.2. Jasa Publik dan Layanan Civil
Dalam kajian Ilmu Pemerintahan Baru (kybernologi), konsep pelayanan
dibedakan secara tegas menjadi dua macam, yaitu : Jasa Publik dan Layanan
Civil. Seperti dikemukakan Ndraha (2003 : 46-47) sebagai berikut :
Jasa Publik adalah produk yang menyangkut kebutuhan hidup orang
banyak, seperti air minum, jalan raya, listrik, telkom; proses produksinya
disebut pelayanan publik. Sedangkan Layanan Civil adalah hak, kebutuhan
dasar dan tuntutan setiap orang, lepas dari suatu kewajiban. Sebagai contoh
bayi dalam kandungan ibunya wajib dilindungi oleh pemerintah, walaupun
sang bayi tidak (belum) dibebani suatu kewajiban. Tatkala ia lahir
pemerintah wajib mengajui kehadirannya melalui pemberian akte kelahiran,
tanpa diminta-minta dan seharusnya tanpa bayar.
Jasa publik identik dengan pelayanan publik atau pelayanan umum, dan
merupakan tanggung jawab pemerintah, pada tingkat kemampuan masyarakat
yang cukup, pelayanan tersebut dapat diprivatisasi. Layanan civil adalah layanan
perorangan atau individu yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi,
melindunginya atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap warga negara,
oleh karena itu tidak boleh diprivatisasi. Asal usul layanan civil bersumber dari
hak azasi manusia, yang digambarkan oleh Ndraha (2003 : 46) urutannya sebagai
berikut :


22
Gambar 1
Asal Usul Layanan Civil (civil service)
Human right
civil society
civil liberties
Civil right
civil services
Layanan Civil dapat diartikan sebagai organisasi dan juga sebagai pelayanan
(pelayanan civil). Sebagaimana Finer (dalam Ndraha, 2003 : 548) mendefinisikan
Civil Service sebagai organisasi pemerintahan, yaitu : “aprofessional body of
officials, permanent, paid, and skilled”. Sedangkan sebagai badan, Civil Service
menyelenggarakan pelayanan yang karena sifatnya tidak dapat dipenuhi oleh
pasar atau lembaga privat, misalnya lapangan kerja, kesehatan, pendidikan, jalan
raya, transportasi. Dengan demikian ia tidak membedakan secara jelas antara
publik service dan civil service. Namun Finer (dalam Ndraha, 2003 : 548)
mengemukakan karakteristik pelayanan civil yaitu :
1). The Urgencyof State Services, 2). Large-scale Organization,
3). Monopoly and No Price, 4). Equality Of Treatment, 5). Limited
Enterprise, 6). Public Accontability, 7). “Establishment” or Hierarchi,
8). Grading Of Its Members, 9). Directness of Government, 10). Lack Of
Ruthlessness, 11). Anoymity and Impartiality.
Dari penjelasan Finer tesebut, oleh Ndraha (2003 : 583) dikonstruksi ciri-ciri
umum (persamaan) jasa publik dan layanan civil sambil dilengkapi sesuai dengan
kondisi Indonesia, sehingga perbedaan antara jasa publik dan layanan civil
menjadi jelas, sebagaimana ditampilkan pada tabel dibawah ini :


23
Tabel 1
Jasa Publik dan Layanan Civil
Jasa Publik
Layanan Civil
1. Dasar
Pasal 33 (2) UUD 1945
Pilihan masyarakat yang
Bersangkutan
Human Right, Civil Right,
Constitutional Right, Tabel 1
Convention
2. Status
Kewenangan Pemerintah
1. Monopoli pemerintah tetapi
dapat diprivatisasikan.
2. Tarif serendah-rendahnya,
tidak cari laba.
3. Sasaranya masyarakat.
Kewajiban Pemerintah
1. Tidak dapat diprivatisasi,
monopoli pemerintah
3. Sifat
1. Consumer menyesuaikan
diri dengan providr.
2. Bisa dipindahtangankan.
3. Mudah didapat pada
saat diperlukan.
4. Mutu setinggi mungkin.
1. Tidak dijual belikan (no price),
pertimbangan kemanusiaan.
2. Sasarannya tiap individu manusia,
dari lepas dari
kewarganegaraannya.
3. Provider menyesuaikan diri
dengan
kondisi consumer.
4. Tidak bisa dipindah tangankan.
5. Harus siap pada saat diperlukan.
seefektif mungkin.
4. Provider 1. Badan-badan hukum
2. Bersumber pada pemakaian
Publik Goods oleh consumer
1. Hanya Pemerintah
2. Bersumber pada action
dan acting sang aktor
Sumber : Ndraha (2003 : 59)
Seiring dengan itu, Ndraha (2000 : 60) juga membedakan layanan civil
sebagai berikut : layanan civil dapat dibedakan menjadi layanan civil guna
memenuhi hak bawaan (azasi) manusia dan layanan civil guna memenuhi hak
derivatif, hak berian, atau hak sebagai hukum yang menyangkut diri seseorang.
Sedangkan pada bagian lain Ndraha (2000: 62) mengemukakan bahwa provider
layanan civil adalah setiap unit kerja publik, baik yang terdapat jajaran
dieksekutif, legislatif, yudikatif, maupun lainnya. Bahkan unit kerja lain yang
secara organisasional berada di luar pemerintahan tetapi karena tugasnya
berkaitan dengan urusan publik. Lebih lanjut Ndraha (2001 : 11) mengungkapkan
bahwa layanan civil adalah layanan yang menjadi kewajiban (bukan wewenang)


24
negara. Pemerintah berkewajiban memberi layanan, artinya ia tidak boleh
menolak melakukannya dengan alasan apapun.
Layanan civil merupakan hak dasar dari warga negara dan haknya
pemerintah yang memproduksi dan mendistribusikannya. Setiap manusia baik
warga negara sendiri maupun warga negara asing, berhak atas layanan civil tanpa
dikaitkan dengan suatu kewajiban finansial apapun. Layanan civil adalah layanan
perorangan atau individu, yang menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi,
melindungi atas dasar “civil right” yang dimiliki oleh setiap warga negara karena
itu tidak dapat diprivatisasi. Jasa publik identik dengan pelayanan publik
(public service) merupakan tanggung jawab pemerintah. Pada tingkat kemampuan
masyarakat yang cukup pelayanan tersebut dapat diprivatisasikan di bawah
kontrol legislatif.
Dengan demikian layanan civil adalah proses layanan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat diluar urusan militer dan
ibadah. Pemerintah adalah lembaga yang memproduksi, mendistribusikan atau
memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa layanan civil. Secara
eksplisit dapat dikatakan bahwa pemberian pelayanan civil merupakan jenis
pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah. Hal ini dapat dipahami mengingat
pelayanan civil merupakan bagian dari fungsi pemerintah yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
2.1.3.3. Kualitas Layanan
Pelayanan pemerintah adalah suatu kegiatan yang merupakan perwujudan
dari salah satu fungsi pemerintah itu sendiri, yang bertujuan untuk


25
mensejahterakan masyarakat. Sebagaimana pendapat Susilo Bambang Yudoyono
Presiden Republik Indonesia di Istana Negara ( 2006 : 9) mengingatkan bahwa
“jajaran pemerintahan terutama yang bertugas di garis terdepan bidang pelayanan
masyarakat agar tidak mempersulit proses pelayanan terhadap rakyat, karena
pemerintahan yang baik (good governance) hanya akan terwujud bila pelayanan
itu murah, mudah dan cepat. Selanjutnya Rasyid (1987 : 116-117) mengatakan
bahwa : “fungsi utama pemerintah adalah pelayanan kepada masyarakat, yang
bertujuan menciptakan kondisi yang menjamin warga masyarakat melaksanakan
kehidupan mereka secara wajar ”.
Dalam hal ini pelayanan yang diharapkan adalah pelayanan yang
berkualitas. Kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang baik, yaitu
suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara
memuaskan. Sebagaimana dikemukakan Trigono (1997 : 76,78) bahwa pelayanan
yang terbaik yaitu “ melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku
sopan, ramah dan menolong serta profesional dan mampu”, bahwa kualitas ialah :
Standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/organisasi
mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja atau produk
yang berupa barang dan jasa. Berkualitas mempunyai arti memuaskan
kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal dalam arti optimal
pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat.
Gaspersz (dalam Lukman, 1999 : 9) menyatakan bahwa kualitas adalah
segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan
(meeting the needs of customers). Sependapat dengan itu Goets dan davis (dalam
Tjiptono, 1999 : 51), kualitas merupakan “suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang


26
memenuhi, atau melebihi harapan”. Wyckoy (dalam Tjiptono, 1996 : 59)
mengartikan kualitas jasa atau layanan sebagai “tingkat keunggulan yang
diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi
keinginan pelanggan”. Hal ini berarti apabila jasa atau layanan dipersepsikan baik
dan memuaskan, sebaliknya jika jasa atau layanan yang diterima lebih rendah
dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan buruk.
Untuk itu perlu standar yang objektif untuk menilai kualitas pelayanan.
Unsur-unsur pokok yang terkandung dalam pelayanan yang unggul
(service excellence) ,menurut Trigono (1997 : 58) ada empat yaitu :
Kecepatan, ketepatan, keramahan dan kenyamanan. Keempat komponen
tersebut merupakan suatu kesatuan yang integrasi, artinya pelayanan
menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. Kualitas jasa atau
layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat
terhadap unit organisasi pemerintah yang memberikan layanan secara
khusus serta pemerintahan pada umumnya.
Selanjutnya Lukman (1999 : 10), mengartikan “kualitas sebagai kesesuaian
dengan persyaratan, kesesuaian dengan pihak pemakai atau bebas dari
kerusakan/cacat”. Oleh sebab itu kualitas pelayanan adalah suatu kegiatan
pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan prinsip : lebih cepat,
lebih tepat, lebih mudah dan lebih adil, lebih baik, akurat, ramah, sesuai dengan
harapan pelanggan. Jadi kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan
kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang ada. Standar pelayanan
adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang
baik.


27
2.1. 4. Dimensi Kualitas Layanan Civil
Kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dapat dukur setelah
masyarakat menerima dan merasakan layanan dan membandingkan dengan
harapan sebelumnya. Demikian halnya dalam layanan civil, kualitas merupakan
salah satu aspek yang mendapat perhatian dari pemerintah, guna memberikan
kepuasan kepada rakyat. Apalagi layanan civil bila dilihat dari keberadaannya
merupakan hak dasar dari warga negara dan hanya pemerintah yang memproduksi
dan mendistribusikannya. Ndraha (2003 : xxviii) mengemukakan bahwa setiap
manusia baik warga negara sendiri maupun warga negara asing, berhak atas
layanan civil tanpa dibebani atau tanpa dikaitkan dengan suatu kewajiban
finansial apapun. Karena itu , layanan civil disebut no rice. Layanan civil 100%
dibayar melalui pendapatan negara, yaitu hasil pengelolaan SDA, pajak dan
sebagainya. Sedangkan dibagian lain Ndraha mengatakan bahwa keterlibatan
pemerintah dalam layanan civil dikarenakan layanan civil tidak dijual beli,
dimonopoli oleh badan-badan publik (pemerintah, negara) dan tidak boleh
diprivatisasikan (diswastakan), sedangkan layanan publik dapat dijual beli di
bawah kontrol legislative. Setiap badan publik berfungsi memperoduksi dan
mendistribusikan layanan civil pada saat diperlukan.
Namun secara spesifik aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam
mengupayakan penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas menurut Ndraha
(1997 : 63) adalah :
Jasa layanan atau layanan civil dipandang sebagai deviden yang wajib
didistribusikan kepada rakyat oleh pemerintah dengan semakin baik,
semakin tepat waktu, semakin mudah diperoleh dan semakin adil. Tekanan
kepada aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan dalam


28
layanan public (civil) tersebut berkaitan dengan sifat monopoli dari layanan
publik (civil) dimana masyarakat tidak memiliki pilihan untuk
mengharapkan layanan yang sama pada institusi lain diluar pemerintah.
Kualitas layanan bukan hanya mengacu pada kualitas produk, juga
menekankan pada proses penyelenggaraan atau pendistribusian layanan itu sendiri
hinga ke tangan masyarakat sebagai konsumer. Aspek-aspek kecepatan, ketepatan,
kemudahan, dan keadilan menjadi alat untuk mengukur kualitas layanan civil. Hal
ini berarti, pemerintah melalui aparat dalam memberikan layanan civil kepada
masyarakat harus memperhatikan aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan
keadilan.
Lebih lanjut yang merupakan dimensi kualitas layanan civil dalam penelitian
ini adalah kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan. Layanan civil yang
berkualitas yang diterima oleh masyarakat selama ini dari aparat pemerintahan
dilihat dari dimensi-dimensi tersebut. Pengukuran terhadap kualitas layanan,
sepenuhnya berada pada masyarakat yang secara langsung berhadapan dengan
aparat pemerintahan yang memberi layanan.
2.1.4.1. Dimensi kecepatan
Kecepatan menyangkut kualitas produk layanan dan kualitas perilaku, dalam
arti masyarakat memperoleh apa yang diinginkan dengan cepat, dan tidak
membutuhkan waktu yang relative lama. Aparat yang memberikan layanan civil
harus mempunyai kesiapan merealisasikan kebutuhan masyarakat, tidak ada
alasan menunda atau memperlambat pemberian layanan, kapanpun masyarakat
membutuhkan layanan civil pada saat itu pula aparat telah stand by untuk
melayani.


29
Pelayanan sebagai aktivitas yang berlangsung berurutan dapat diukur dari
segi penggunaan waktu. Sehingga kecepatan dari suatu pelayanan yang rutin dapat
diambil waktu rata-rata yang diperlukan menyelesaikan suatu rangkaian kegiatan
(proses) dan menjadi standar. Littlefield, dkk (dalam Moenir, 2002 : 20)
mengatakan bahwa standar waktu dapat ditetapkan pada waktu dilakukan
pengukuran kerja, karena memang dalam pengukuran kerja termasuk pengukuran
waktu yang diperlukan untuk penyelesaian tahap pekerjaan.
Dengan standar waktu maka dapat diketahui cepat atau lambatnya
pelayanan yang dapat diselesaikan dalam kurun waktu tertentu, sehingga dapat
ditentukan tingkat produktivitas kerja, prioritas pekerjaan, pengaturan beban kerja
dan mengantisipasi keadaan serta perencanaan selanjutnya. Pada dasarnya proses
pelayanan harus cepat, dan lebih cepat lebih baik.
Pada dasarnya proses pelayanan secara administrative (surat-menyurat)
harus cepat dan lebih cepat lebih baik. Sebagaimana dikatakan Moenir (2002 : 22)
bahwa “proses penanganan surat keluar harus cepat, hari itu diterima petugas ,
hari itu juga harus sudah dikirim ke alamat yang bersangkutan, karena kalau tidak
cepat akibatnya data berganda yaitu : surat tertumpuk, kemungkinan hilang atau
terselip, penangan masalah menjadi terlambat.
Proses penanganan suatu pekerjaan baik pada tahap-tahap pekerjaan tertentu
maupun keseluruhan sangat bervariasi dari segi waktu, artinya ada singkat (cepat)
ada pula yang memakan waktu lama (jam, hari, bulan bahkan tahun) tergantung
permasalahan dan cara memprosesnya. Pelayanan sebagai proses adalah terdiri
dari beberapa perbuatan aktivitas yang dapat diperhitungkan, direncanakan dan


30
ditetapkan standar waktunya. Untuk mengetahui waktu diperlukan dalam proses
suatu tugas atau pekerjaan (surat-menyurat, Kartu Tanda Penduduk, akte kelahiran
dan sebagainya) perlu pengamatan berulang-ulang.
Karena itu melayani berarti aparat berperilaku secara cepat dalam
memberikan layanan, dan masyarakat tidak berlama-lama menunggu untuk
memperoleh layanan. Namun demikian aparat harus menyesuaikannya dengan
prosedur dan ketentuan yang berlaku. Kecepatan dalam hal ini tidak identik
dengan pelanggaran terhadap mekanisme dan prosedur yang berlaku, serta bukan
pula sebagai pembenaran terhadap praktek-praktek percaloan yang sering
dikeluhkan.
2.1.4.2. Dimensi ketepatan
Ketepatan sebagai dimensi kualitas layanan civil berkaitan dengan
kewajiban dan pemenuhan janji, tujuan yang ingin dicapai, sasaran atau obyek
yang menjadi fokus perhatian, keinginan atau kepentingan yang ingin diperoleh,
prosedur yang dilalui, maupun waktu yang dibutuhkan dalam pelayanan.
Ndraha (2001 : 79) berpendapat bahwa lembaga yang disebut pemerintah
terbentuk berdasarkan komitmen dan bila dilihat dari sudut pandang ini maka
pemerintahan adalah proses penepatan janji. Selanjutnya antara ketepatan dengan
janji secara rinci diuraikan oleh Ndraha (2001 : 97) sebagai berikut :
Janji wajib dipenuhi (penuh, total, lengkap, sempurna), ditepati (tepat persis)
dan ditunaikan (tunai, bukan hutang, sebab “the stomach doesn’t wait”).
Dalam Bahasa Belanda prestatie (prestasi) berarti penunaian, pelunasan.
Seseorang disebut berprestasi jika ia berhasil menepati janji; jika tidak, ia
dianggap wanprestatie. Jika ia berprestasi ia bisa mendapat tegenprestatie
(imbalan) atau contraprestatie. Jika pemerintahan dianggap sebagai proses


31
penepatan atau penunaian janji, maka konsep prestatie dapat digunakan
sebagai instrumen evaluasi kinerja pemerintahan.
Ketepatan dalam pelayanan berarti layanan civil yang diberikan oleh aparat
kepada masyarakat harus persis, tidak kurang dan tidak lebih, sesuai dengan janji.
Hal ini dapat dilihat melalui produk dan proses layanan. Dari sisi produk, maka
layanan yang tersedia mesti sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya kalau
masyarakat membutuhkan KTP, maka aparat pemerintahan wajib menerbitkan
KTP tersebut. Dilihat dari sisi proses maka layanan harus memenuhi standar
pelayanan yang ada. Aspek ini terkait erat dengan jadual, tempat, prosedur,
persyaratan, dan pembiayaan sesuatu layanan.
2.1.4.3. Dimensi kemudahan
Pada umumnya masyarakat menginginkan agar layanan civil yang
disediakan oleh pemerintah dekat dengannya sehingga mudah diperoleh.
Keinginan dekat dengan layanan sangat berkaitan dengan masalah distribusi,
yaitu bagaimana pemerintah berupaya mendekatkan layanan kepada masyarakat
tanpa melewati jenjang-jenjang yang melelahkan, dengan biaya yang semurah
mungkin.
Penyediaan layanan yang mudah dan biaya yang diminta sesuai tarif dan
tidak ada biaya tambahan merupakan salah satu bentuk pelayanan yang harus
mendapat prioritas utama. Gasperz (1997 : 73) menyatakan bahwa “pelanggan
selalu mengharapkan biaya pelayanan yang lebih murah, selain pelayanan yang
semakin cepat dan lebih baik”.


32
Penyediaan fasilitas dan informasi pelayanan yang dengan mudah dapat
diakseskan akan menimbulkan persepsi yang positif bagi pelanggan terhadap
layanan yang disediakan. Menurut Kotler (1994 : 62) persepsi ini akan menjadi
penilaian menyeluruh dari pelanggan atas keunggulan suatu layanan.
2.1.4.4. Dimensi keadilan
Rasyid (2002 : 134) mengemukakan bahwa, dalam “fungsi pelayanan
pemerintah terkandung tujuan untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat”.
Pernyataan ini menegaskan seyogianya setiap warga masyarakat berhak
memperoleh pelayanan yang adil dari pemerintah berdasarkan nilai-nilai etika dan
hukum yang berlaku. Dalam hal layanan civil terutama layanan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) kepada setiap warga masyarkat, rasa keadilan lebih diutamakan
karena merupakan salah satu bagian hak azasinya.
Dengan demikian setiap orang merasa dilindungi dan dipenuhi haknya untuk
memperoleh layanan. Hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Ichsan (1986 : 20)
bahwa pemerintah harus mendasarkan pelayanan yang sama dan merata tanpa
melihat ekonomis pelayanan itu. Pemerintah harus melakukan consistency of
statement dalam melakukan pelayanan tanpa memandang siapa, dimana dan
bilamana sekalipun pelayanan tidak mendatangkan keuntungan atau manfaat.
Rasa keadilan yang mudah tersentuh dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari sejauh mana layanan civil diterima oleh masyarakat secara menyeluruh tanpa
memandang asal usul, strata sosial dan ekonomi masyarakat yang dilayaninya.
Hal ini dapat dilihat melalui kegiatan operasional pelayanan seperti siapa yang
datang lebih dahulu akan dilayani lebih dahulu juga, dan tegaknya budaya antri


33
diloket pelayanan tanpa ada perantara, semua dilayani dengan prosedur yang sama
tanpa kecuali. Dalam kondisi demikian, berarti prinsip keadilan dan persamaan
hak bagi semua orang dalam masyarakat untuk mendapatkan pelayanan sudah
terpenuhi dengan baik. Kegagalan memberikan pelayanan secara adil kepada
masyarakat dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif dan dalam jangka
panjang berakibat pada meningkatnya kecemburuan sosial dan terganggunya
integritas sosial.
2.1.5. Kajian Tesis Terdahulu
Melihat judul dan masalah penelitian yang akan diteliti, maka perlu
melakukan perbandingan serta mengungkapkan fenomena yang sama dalam sudut
pandang yang berbeda sehingga diharapkan dapat memperkaya pengetahuan.
Penelitian di Kota Jambi yang dilakukan oleh Sudirman, tahun 2000 dengan
judul tesis: pengaruh motivasi kerja aparat terhadap efektivitas penyelenggaraan
pelayanan kepada masyarakat studi tentang pelayanan KTP. Penelitian tersebut
menggunakan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian tersebut digunakan
analisis korelasi Rank Spearman,s, determinasi dan regresi. Variabel yang diteliti
adalah variabel motivasi kerja aparat terhadap efektivitas pelayanan yaitu
pelayanan KTP, Instrumen penelitian yang digunakan adalah lyker type untuk
menjaring jawaban atas pertanyaan yang diberikan kepada responden. Kesimpulan
yang diambil adalah terdapat pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja
aparat terhadap efektivitas pelayanan KTP, sehingga semakin meningkat motivasi
kerja aparat maka semakin meningkat pula efektivitas pelayanan KTP. Sedangkan
penelitian yang dilakukan Rustam Tahun 2004 di Kotamadya Jakarta Selatan


34
dengan judul pengaruh perilaku birokrasi terhadap kualitas layanan civil studi
tentang Pelayanan Kartu Tanda Penduduk. Penelitian tersebut melakukan
pendekatan kuantitatif dengan unit analisis adalah individu aparat pada
Pemerintah Kecamatan Pasar Minggu. Kesimpulan yang dihasilkan adalah bahwa
perilaku birokrasi berpengaruh terhadap kualitas layanan civil. Penelitian ini
mencoba mengkaji tentang perilaku birokrasi terhadap kualitas pelayanan civil di
kelurahan. Hasil yang diperoleh adalah terdapat pengaruh antara kedua variabel,
dan apabila ingin meningkatkan kualitas pelayanan civil maka perlu
memperhatikan perilaku birokrasi.
Dari kedua kajian tesis terdahulu maka dapat dijelaskan tentang perbedaan
dan kesamaan antara tesis tersebut dengan tesis penulis. Adapun perbedaan dan
kesamaan penulisan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : pertama, tesis yang
diteliti oleh Sudirman sama-sama meneliti tentang motivasi kerja aparat
sedangkan perbedaannya ada pada variabel terikat, yakni Sudirman menggunakan
variabel efektivitas penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat sedangkan
penulis variabel terikatnya adalah kualitas layanan civil. Persamaan dan
perbedaan lainnya ada pada lokasi penelitian, instrumen penelitian, analisis data
dan metode penelitian yang digunakan.
Analisis tesis kedua berada pada kajian variabel bebas yakni variabel yang
digunakan oleh Rustam adalah perilaku birokrasi sedangkan penulis
menggunakan variabel motivasi kerja aparat. Sedangkan variabel terikatnya sama
yakni kualitas layanan civil. Persamaa lainnya yaitu analisis variabel penelitian
dengan menggunakan analisis korelasi, analisis jalur, dan determinasi.


35
Sedangkan perbedaan lain yaitu lokasi penelitian, kajian variabel, dimensi dan
indikator yang digunakan dalam variabel X maupun Y dan kesimpulan yang
diambil.
2.2. Kerangka Pemikiran
Menurut Winardi (2001 : 1), “istilah motivasi berasal perkataan latin, yaitu
movere yang berarti “menggerakkan” (to move).
Dengan demikain secara etimologi, motivasi berkaitan dengan alasan-alasan
atau hal-hal yang mendorong atau menggerakan seseorang untuk melakukan
sesuatu. Pada sisi lain, Arep dan Tanjung (2003 : 12) mengatakan bahwa motivasi
adalah sesuatu yang pokok yang menjadi dorongan seseorang untuk bekerja.
Secara konseptual, motivasi telah didefinisikan oleh beberapa ahli, seperti
Scott (1971 : 80) yang memberikan pengertian tentang konsep motivasi yaitu
“Motivation means a process of stimulating people to action to accomplish
disered goal” (motivasi adalah rangkaian pemberian dorongan kepada seseorang
untuk melakukan tindakan guna pencapaian tujuan yang diinginkan). Sementara,
Mitchell (dalam Winardi, 2001 : 1) mengatakan bahwa “...motivasi mewakili
proses-proses psikologikal yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan
terjadinya persis tentu kegiatan-kegiatan sukarela yang diarahkan kearah tujuan
tertentu”.
Pendapat lain tentang motivasi adalah yang diberikan oleh
Stephen P. Robbins dan Mary Coutler (dalam Winardi, 2001 : 1) mengenai apa
yang dimaksud dengan motivasi karyawan (employee motivation) yaitu :
“Kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi, untuk mencapai tujuan-tujuan


36
keorganisasian, yang dikondisi oleh kemampuan upaya demikian,
untuk memenuhi kebutuhan individual tertentu”. Sementara itu,
Terry (dalam Moekijat, 2002 : 5) mengatakan bahwa “motivation is the desire
within an individual that stimulates him or her to action” (motivasi adalah
keinginan didalam seorang individu yang mendorong ia untuk bertindak). .
Sedangkan Atkinson (dalam Scott, 1971 : 80) mengemukakan pendapatnya
tentang motivasi sebagai berikut:
Motivational strength, according to Atkinson is a function of three variables
which expressed as follows; Motivation = f (motive x expectancy x incentive)
the term of equation mean :
4. Motive refers to general dispotion of the individual to strive for the
satisfaction of the need. It represent the urgency of the need for
fulfilment.
5. Expectancy is the subjective calculation of the probability that a given
act wills succehoped for by obtaining the goal.
6. Incentive is the subjective calculation of the value of the reward hoped
for by obtaining the goal
Yang artinya : Kekuatan motivasi itu, menurut Atkinson adalah suatu fungsi
dari tiga variabel yang dijelaskan sebagai berikut :
Motivasi = f (motif x pengharapan x insentif).
Istilah tersebut berarti sama dengan :
4. Motif menunjukan kecenderungan yang umum dari individu untuk
mendorong pemuasan kebutuhan. Ia mewakili kepentingan tentang
pemenuhan kebutuhan.
5. Pengharapan adalah kalkulasi subyektif tentang kemungkinan tindakan
tertentu yang akan berhasil dalam memuaskan kebutuhan (mencapai
tujuan).
6. Insentif adalah kalkulasi subyektif tentang nilai pengharapan bagi
pencapaian tujuan.
Vromm, (dalam Ndraha, 1999 : 147-148) mengemukakan penjelasan konsep
motivasi secara lebih luas, sebagai berikut :
Motivasi adalah produk tiga faktor; Valence (V) menunjukkan seberapa kuat
keinginan seseorang untuk memperoleh reward (reward performance),
misalnya jika hal yang paling didambakan oleh seseorang pada suatu saat
promosi, maka itu berarti baginya promosi menduduki valensi tertinggi.


37
Expectancy (E) menunjukkan kemungkinan keberhasilan kerja (performance
probability). Probability itu bergerak dari 0 (nol, tiada harapan) ke 1 (satu,
penuh harapan). Instrumentality (I) menunjukkan kemungkinan diterimanya
reward jika pekerjaan berhasil. Sama sepeti E, I juga bergerak dari 0 ke 1.
Berdasarkan beberapa pendapat itu, secara umum menunjukkan bahwa pada
prinsipnya motivasi merupakan dorongan yang ada dalam individu untuk
bertindak dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Berkaitan dengan pentingnya konsep motivasi dalam pengelolaan sebuah
organisasi, Zainun (1979 : 100) menjelaskan sebagai berikut :
Motivasi dapat dilihat sebagai bagian yang fundamental dari kegiatan
manajemen, sehingga sesuatunya dapat ditujukan kepada pengarahan potensi
dan daya manusia dengan jalan menimbulkan, menghidupkan dan
menumbuhkan tingkat keinginan yang tinggi, kebersamaan dalam
menjalankan tugas-tugas perseorangan maupun kelompok dalam organisasi.
Pendapat lain, Arep dan Tanjung (2003 : 16) mengatakan bahwa :
Secara singkat, manfaat motivasi yang utama adalah menciptakan gairah
kerja, sehingga produktivitas kerja meningkat. Sementara itu, manfaat yang
diperoleh karena bekerja dengan orang-orang yang termotivasi adalah
pekerjaan dapat diselesaikan dengan tepat.
Setelah memahami pengertian konsep motivasi, secara etimologis dan secara
konseptual menurut elaborasi beberapa pakar, dan juga tentang pentingnya konsep
motivasi dalam pengelolaan sebuah organisasi, menunjukkan bahwa motivasi
kerja sangat bermanfaat dalam pencapaian tujuan organisasi.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas aparat pemerintahan kecamatan,
maka perlu dipahami apa yang memotivasi mereka dalam melaksanakan
pekerjaannya. Berkaitan dengan masalah motivasi tersebut, sejumlah teori telah
dikembangkan oleh para ahli untuk menjelaskan tentang bagaimana memotivasi


38
bawahan dalam melaksanakan pekerjaannya, agar mereka dapat bekerja secara
maksimal.
Hicks dan Gullet (1987 : 450-460) membagi teori motivasi ke dalam 2 (dua)
kelompok yaitu kelompok teori motivasi internal dan teori motivasi eksternal,
sebagaimana berikut ini :
Kelompok teori motivasi internal memandang bahwa motivasi individu itu,
bersumber dari dalam diri individu itu sendiri, seperti adanya kebutuhan,
keinginan, dan kehendak. Sedangkan kelompok teori motivasi eksternal
memandang bahwa ada kekuatan di luar diri individu yang dapat
mempengaruhi perilakunya dalam bekerja, seperti faktor pengendalian oleh
manajer, keadaan kerja, gaji/upah, pekerjaan, penghargaan, pengembangan,
dan tanggung jawab.
Dalam pembahasan lebih lanjut, penulis akan menggunakan teori-teori
motivasi eksternal dalam kaitannya dengan pelaksanaan pekerjaan aparat
pemerintahan kecamatan. Sejalan dengan itu Herzberg (dalam Ndraha, 1999:145)
mengemukakan bahwa ada 2 (dua) faktor yang dapat memberikan kepuasan
dalam bekerja yaitu faktor motivasional dan faktor pemeliharaan (maintenance),
yang diuraikan seperti berikut ini :
1. Faktor sesuatu yang dapat memotivasi (motivational factors). Faktor ini
antara lain adalah prestasi (achievement), pengakuan/penghargaan
(recognition), tanggung jawab (responsibility), memperoleh kemajuan
dan perkembangan dalam bekerja khususnya promosi (advancement),
dan pekerjaan itu sendiri (work it self). Faktor ini terkait dengan
kebutuhan pada urutan yang tinggi dalam teori Maslow.
2. Faktor pemeliharaan (maintenance factors). Faktor ini dapat berbentuk
gaji/upah, hubungan antar pekerja (interpersonal relation), supervisi
teknis (supervision), kondisi kerja (working condition), kebijaksanaan
perusahaan, dan proses administrasi di perusahaan (company policy and
administration). Faktor ini terkait dengan urutan yang rendah dalam
teori Maslow.
Pendapat Herzberg tersebut didukung oleh studi Pitsburgh (dalam Arep dan
Tanjung, 2003 : 28) yang melahirkan teori two factor yang menjelaskan bahwa


39
motivasi pada prinsipnya berkaitan dengan kepuasan dan ketidak puasan kerja.
Dalam hal ini kepuasan kerja atau perasaan positif disebut sebagai hygien. Secara
terinci dikemukakan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan dikalangan
karyawan atau bawahan, yaitu :
Beberap faktor yang menimbulkan ketidakpuasan (hygien), antara alin :
o Kebijakan dan Administrasi perusahaan
o Pengawasan
o Hubungan dengan pengawas
o Kondisi kerja
o Gaji
o Hubungan dengan rekan kerja
o Kehidupan pribadi
o Hubungan dengan bawahan
o Status dan keamanan
Beberapa faktor yang menimbulkan kepuasan (motivator), antara lain :
o Tercapainya tujuan
o Pengakuan
o Pekerjaan itu sendiri
o Pertanggungjawaban
o Peningkatan
o Pengembangan
Di sisi lain disebutkan bahwa faktor yang memotivasi seorang aparat dalam
bekerja bisa berasal dari dalam dirinya, dan bisa juga berasal dari luar diri orang
tersebut. Berkaitan dengan itu, Nawawi (1998:359) membedakan 2 (dua) bentuk
motivasi kerja yaitu : motivasi intrisik dan motivasi ekstrisik. Lebih lanjut
dijelaskan sebagai berikut :
1. Motivasi intrinsik adalah pendorong kerja yang bersumber dari dalam
diri pekerja sebagai individu, berupa kesadaran mengenai pentingnya
atau manfaat/makna pekerjaan yang dialsanakannya. Dengan kata lain
motivasi ini bersumber dari pekerjaan yang dikerjakan, baik karena
mampu memenuhi kebutuhan, atau menyenangkan, atau memungkinkan
mencapai suatu tujuan maupun karena memberikan harapan tertentu
yang positif di masa depan. Misalnya yang bekerja secara berdedikasi
semata-mata karena merasa memperoleh kesempatan untuk
mengaktualisasikan dirinya secara maksimal.


40
2. Motivasi ekstrinsik adalah pendorong kerja yang bersumber dari luar
diri pekerja sebagai individu, berupa suatu kondisi yang
mengharuskannya melaksanakan pekerjaan secara maksimal. Misalnya
berdedikasi tinggi dalam bekerja karena gaji/upah yang tinggi,
jabatan/posisi yang terhormat atau memiliki kekuasaan yang besar,
pujian, hukuman dan lain-lain.
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan di atas, penulis melihat bahwa
terdapat kesamaan pandangan dari para pakar dalam melihat faktor-faktor
motivasi yang dianggap dapat mendorong seseorang untuk melaksanakan
pekerjaannya secara maksimal sesuai dengan yang diharapkan oleh organisasi.
Pada dasarnya pendapat-pendapat itu menggambarkan bahwa motivasi secara
garis besar terdiri dari dua sumber yaitu motivasi dari dalam diri manusia
(internal) dan dari luar diri manusia (eksternal), maka dalam melakukan
pengukuran motivasi aparat, penulis mengambil dimensi motivasi instrinsik dan
motivasi ekstrinsik yang dianggap berpengaruh sebagai sesuatu yang memotivasi
aparat.
Hubungan motivasi dan kualitas layanan civil, maka berbicara mengenai
organisasi birokrat, yaitu tidak terlepas dari para pelaksananya dalam hal ini para
birokrat atau aparat. Davis dan Newstroom (1995 : 88) mengemukakan bahwa
keterkaitan motivasi dan keunggulan kerja (pelayanan, produktivitas,
responsibilitas) adalah bahwa motivasi kompetensi (competence motivation)
adalah dorongan untuk mencapai keunggulan kerja, meningkatkan ketrampilan
pemecahan masalah dan berusaha keras untuk inovatif (dorongan untuk mencapai
hasil kerja dengan kualitas tinggi).
Hal ini seiring dengan Gomes (1997 :9) yang mengatakan bahwa : Manusia
memiliki keinginan-keinginan, kebutuhan-kebutuhan, baik yang fisik maupun non


41
fisik. Kebutuhan manusia yang terpenuhi secara wajar dengan sendirinya akan
banyak memberikan kontribusinya bagi keberhasilan organisasi.
Dalam suatu organisasi manapun manusia sebagai rakyat yang menjadi
pendiri, pemilik dan pemegang kedaulatan negara. Untuk memenuhi aspirasi dan
kebutuhannya diperlukan pemerintahan yang responsif dan aspiratif,
pemerintahan tersebut bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan dan
tuntutan masyarakat. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat tersebut antara lain
berupa layanan publik, jaminan keamanan, jaminan kesejahteraan, jaminan
keadilan, dan sebagainya. Pemerintah yang responsif dan aspiratif dapat
diwujudkan dengan cara meningkatkan kualitas layanan. Pelayanan kepada
masyarakat merupakan fungsi utama pemerintah. Hal ini sebagaimana Rasyid
(1996 : 48), menyatakan bahwa : “tugas pokok pemerintah adalah pelayanan
(service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan (development)”.
Berkaitan dengan pelayanan, konsep layanan merupakan terjemahan dari
bahasa Inggris “service”, yang menurut Kotler (dalam Tjiptono, 1996 : 6) berarti
kegiatan bermanfaat yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak yang lain,
yang pada dasarnya tidak terwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Pengertian ini sangat erat hubungannya dengan adanya keterbatasan
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya yang mengakibatkan
masyarakat membutuhkan pihak lain untuk mengatasi kekurangan kebutuhan dan
kepentingannya. Pemenuhan kebutuhan atau kepentingan dimaksud hanya dapat
terealisasi bila ada pihak lain yang memenuhi atau yang memberi pelayanan.


42
Untuk menelaah lebih lanjut mengenai layanan civil ini, Ndraha (2000 : 59)
mengartikan layanan sebagai produk dan dapat juga diartikan sebagai cara atau
alat yang digunakan oleh provider dalam memasarkan atau mendistribusikan
produknya. Sedangkan kata civil yaitu segala sesuatu yang menyangkut
kehidupan sehari-hari warga negara di luar urusan militer dan ibadah.
Sebagai kegiatan, Finer (dalam Ndraha, 2003 : 548) menguraikan
karakteristik civil service (The Nature of Civil Service Activity) demikian :
1. The urgency of State Service ( pentingnya pelayanan terhadap warga
negara)
2. Large-scale Organization (didasarkan pada kebijakan publik pada
tingkat makro)
3. Monopoly and No Price (dimonopoli oleh negara dan tidak-jual beli
dalam arti pasar, biaya tidak dibebankan kepada konsumer, tidak
diprivatisasi)
Finer berpendapat demikian berdasarkan anggapan bahwa pelayanan
civil merupakan bagian pelayanan publik.
4. Equality of Treatment (perlakuan yang sama terhadap tiap konsumer)
5. Limited Enterprice (aktor dan aktris pelayanan civil bukanlah pedagang
pengusaha yang menuntut imbalan dari konsumer, juga tidak boleh
bertindak untuk kepentingan pribadi, juga bukan sinterklas)
6. Public Accountability (pertanggungjawaban kepada publik, dalam hal ini
konsumer)
7. “Establishment” or Hierarchy (civil service) terbentuk sebagai sebuah
body)
8. Grading of Its Members (pengelompokan dan klasifikasi civil service)
9. Directness of Government (pelayanan yang dikendalikan langsung oleh
pemerintah, seringkali teras kaku, oleh sebab itu, aktor dan aktris
pemerinathan harus kreatif danarif)
10. Lack of Ruthlessness (pelayanan yang tulus dalam suasana kebersamaan)
11. Anonymity and Impartiality (tidak bersifat pribadi dan tidak memihak)
Seiring dengan itu, Ndraha (2000 : 60) juga membedakan layanan civil
sebagai berikut : layanan civil dapat dibedakan menjadi layanan civil guna
memenuhi hak bawaan (asasi) manusia dan layanan civil guna memenuhi hak
derivatif, hak berian, atau hak sebagai hukum yang menyangkut diri seseorang.


43
Sedangkan pada bagian lain Ndraha (2000 : 62) mengemukakan bahwa provider
layanan civil adalah setiap unit kerja publik, baik yang terdapat dijajaran
eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun lainnya. Bahkan unit kerja lain yang secara
organisasional berada di luar pemerintahan tetapi karena tugasnya berkaitan
dengan urusan publik. Lebih lanjut Ndraha (2001 : 11) mengungkapkan bahwa
layanan civil adalah layanan yang menjadi kewajiban (bukan wewenang) negara.
Pemerintah berkewajiban memberi layanan, artinya tidak boleh menolak
melakukannya dengan alasan apapun.
Dalam konteks hubungan pemerintah dengan masyarakat, menurut
Saefullah (1995 : 5), layanan publik (public service) adalah layanan yang
diberikan kepada masyarakat umum yang menjadi warga negara atau yang secara
sah menjadi penduduk negara yang bersangkutan. Dan secara operasional,
menurut Saefullah (1999 : 8), pelayanan publik diberikan kepada masyarakat
dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu :
Pertama, pelayanan umum yang diberikan memperhatikan orang-
perseorang, tetapi keperluan masyarakat secara umum. Dalam pelayanan ini
meliputi penyediaan sarana dan prasarana transportasi, penyediaan pusat-
pusat kesehatan, pembangunan lembaga-lembaga pendidikan, pemeliharaan
keamanan dan lain sebagainya; Kedua, pelayanan yang diberikan secara
orang perseorangan, pelayanan ini meliputi kemudahan-kemudahan dalam
memperoleh pemeriksaan kesehatan, memasuki lembaga pendidikan,
memperoleh kartu tanda penduduk dan surat-surat lainny, pembelian karcis
perjalanan, dan sebagainya.
Adapun tujuan layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat,
menurut Rasyid (1997 : 116) adalah :
Layanan berkenan usaha pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan
kondisi yang menjamin bahwa warga masyarakat dapat melaksanakan
kehidupan mereka secara wajar, dan ditujukan juga untuk membangun dan
memelihara keadilan dalam masyarakat. Selanjutnya mengenai layanan


44
civil, konsep ini sebenarnya bukan merupakan hal yang baru dalam kajian
ilmu pengetahuan. Bahkan secara filosofis, dapat dikatakan bahwa
munculnya ilmu administrasi negara sebetulnya terkait erat dengan konsep
pelayanan civil. Munculnya ilmu pemerintahan sebagai cabang ilmu baru
semakin memperkuat telaahan terhadap pelayanan civil.
Dengan demikian layanan civil dalam proses layanan yang dilakukan oleh
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat diluar urusan militer dan
ibadah. Pemerintah adalah lembaga yang memproduksi, mendistribusikan atau
memberikan alat pemenuhan kebutuhan rakyat yang berupa layanan civil. Secara
eksplisit dapat dikatakan bahwa pemberian layanan civil merupakan jenis
pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah. Hal ini dapat dipahami mengingat
pelayanan civil merupakan bagian dari fungsi pemerintah yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat.
Layanan civil berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik dan berkualitas
sebagai konsekuensi dari tugas dan fungsi layanan yang diembannya, berdasarkan
hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat dalam rangka mencapai tujuan
pemerintahan dan pembangunan.
Kualitas pelayanan menurut Lukman (2000 : 10) adalah :
Kualitas pelayanan adalah suatu kegiatan pelayanan yang diberikan kepada
pelanggan sesuai dengan prinsip : lebih murah, lebih baik, cepat, tepat,
akurat, ramah, sesuai dengan harapan pelanggan. Kualitas pelayanan juga
dapat diartikan sebagai kegiatan pelayanan yang diberikan kepada seseorang
atau orang lain, organisasi pemerintah atau swasta (sosial, politik, LSM, dll)
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kualitas
pelayanan sektor publik adalah pelayanan yang memuaskan masyarakat
sesuai dengan standar pelayanan dan azas-azas pelayanan publik.


45
Elthaitammy (dalam Tjiptono 2002 : 58) mengemukakan bahwa :
Kualitas pelayanan adalah service excellence atau pelayanan yang unggul,
yakni suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan secara
memuaskan. Secara garis besar ada 4 (empat) unsur pokok dalam konsep
pelayanan yang unggul, yaitu 1). Kecepatan; 2). Ketepatan; 3). Keramahan;
4). Kenyamanan. Keempat komponen ini merupakan suatu kesatuan
pelayanan yang terintegrasi, maksudnya pelayanan atau jasa menajdi tidak
excellence bila ada komponen yang kurang.
Dengan demikian kualitas pelayanan diibaratkan dengan pelayanan yang
unggul dalam kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Dan untuk
mencapai tingkat excellence (keunggulan) tersebut menurut Tjiptono (2002 : 58)
yakni :
Seorang karyawan memiliki keterampilan tertentu, diantaranya
berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja
dan sikap selalu siap untuk melayani, tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati
karena merasa dibutuhkan., menguasai pekerjaannya baik tugas yang
berkaitan pada bagian atau departemennya maupun bagian lainnya, mampu
berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat (gesture)
pelanggan, dan memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan secara
profesional.
Ndraha (1997 : 59) memberikan tekanan terhadap kualitas layanan, sebagai
berikut:
Jasa layanan atau layanan civil dipandang sebagai deviden yang wajib
didistribusikan kepada rakyat oleh pemerintah dengan semakin baik,
semakin tepat waktu, semakin mudah diperoleh dan semakin adil. Tekanan
pada aspek-aspek kecepatan, ketepatan, kemudahan dan keadilan dalam
layanan publik (civil) tersebut berkaitan dengan sifat sifat monopoli dari
layanan publik (civil) dimana masyarakat tidak memiliki pilihan untuk
mengharapkan layanan yang sama pada institusi lain diluar pemerintah.
Ndraha (2003 : 63), menjelaskan lebih lanjut bahwa salah satu ciri jasa
publik ditinjau dari segi sifatnya adalah tarif serendah-rendahnya; tidak mencari
laba. Sehingga dengan tarif yang serendah mungkin, kualitas pelayanan yang
setinggi mungkin dapat diperoleh masyarakat yang membutuhkan pelayanan.


46
Kualitas layanan civil dapat diartikan sebagai layanan yang diberikan oleh
pemerintah berupa barang, jasa dan layanan civil, yang mana pemerintah
berkewajiban untuk menyediakannya, sesuai, tuntutan, keinginan, kebutuhan,
harapan, situasi dan kondisi mayarakat yang dapat menciptakan kepuasan
masyarakat yang dapat diukur melalui dimensi kecepatan, ketepatan, kemudahan,
dan keadilan. Artinya, bila layanan yang diterima atau dirasakan masyarakat dari
aparat sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas layanan yang diterima
dipersepsikan baik dan memuaskan, sebaliknya bila layanan yang diterima atau
dirasakan oleh masyarakat dari aparat lebih rendah dari yang diharapkan, maka
kualitas layanan dipersepsikan buruk.
Dari uraian yang dikemukakan itu, menunjukkan bahwa orang-orang yang
mempunyai motivasi akan membantu untuk pencapaian tujuan organisasi. Hal ini
karena orang yang termotivasi memiliki kinerja yang tinggi dalam bekerja.
Dengan demikian, kerangka pemikiran yang dikonstruksi melalui elaborasi
pendapat beberapa ahli di atas menunjukkan keterkaitan motivasi kerja aparat
terhadap kualitas layanan civil sebagaimana salah satu tujuan organisasi birokrasi.
Keterkaitan ini dapat digambarkan secara sederhana melalui kerangka pemikiran
tersebut pada gambar :
Gambar 2
Kerangka Pemikiran Penelitian
MOTIVASI
KERJA APARAT
1. Motif
2. Pengharapan
3. Insentif
KUALITAS
LAYANAN CIVIL
1. Kecepatan
2. Ketepatan
3. Kemudahan
4. Keadilan


47
2.3. Hipotesis
Berdasarkan identifikasi masalah dan kerangka pemikiran penilitian, maka
hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Motivasi kerja aparat yang dicerminkan oleh dimensi motif, pengharapan, dan
insentif berpengaruh terhadap kualitas layanan civil.
2. Semakin tinggi motivasi kerja aparat yang dicerminkan oleh dimensi motif,
pengharapan, dan insentif, semakin tinggi pula kualitas layanan civil yang
dicerminkan oleh dimensi kecepatan, ketepatan, kemudahan, dan keadilan.

2 komentar:

  1. Mau nanya, teori taliziduhu ndraha mengenai dimensi kecepatan, ketepatan, kemudahan, keadilan. Itu sumbernya dari buku apa & halaman berapa?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus