Minggu, 21 Februari 2010

Tugas Pengganti Absen Dian Pratama (234109043)


STRATEGI OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBRDAYA DAN TEKNOLOGI
TEPAT GUNA PERTANIAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN
PETERNAK SAPI POTONG
ABSTRAK
Peningkatan permintaan daging sapi diprediksi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk di Indonesia.  Sementara itu kemampuan peternak sapi potong untuk memenuhi permintaan daging sangat terbatas terutama karena tingkat produktivitas ternak masih rendah sebagai akibat interaksi antara faktor genetis dan lingkungan yang kurang mendukung terhadap optimalisasi penampilan potensi genetik sapi potong. Karakteristik iklim tropis basah menimbulkan konsekuensi produksi biomasa hijauan relatif tingi namun berkualitas rendah karena tanaman akan cepat berbunga sehingga menurunkan kadar protein dan meningkatkan kadar serat kasar. Dalam kondisi ini ternak sapi potong akan mengalami defisiensi bakalan glukosa yang diperlukan untuk memanfaatkan asam asetat sebagai sumber enersi efisien. Akibatnya asam asetat akan mengalami futile cycle dan apabila kondisi cuaca mengandung uap air cukup tinggi maka kemampuan ternak untuk melepas panas tubuh menjadi faktor pembatas produksi. Selain itu infestasi parasit saluran pencernakan menjadi beban tambahan bagi ternak karena serapan protein menjadi berkurang untuk digunakan oleh ternak yang bersangkutan. Untuk mengatasi problematik tersebut perlu diaplikasikan suatu teknologi tepat guna yang bersumber dari produk lokal agar dapat meningkatkan pendapatan peternak sapi potong secara optimal. Dalam makalah ini didiskusikan beberapa pilihan strategi optimasi sumberdaya dan teknologi tepat guna yang terkait dengan kondisi di Indonesia pada umumnya dan kondisi NTB pada khususnya. Pertanyaan kunci yang perlu segera dijawab ialah siapkah kita bersaing di era pasar global dalam kondisi produktivitas sapi potong seperti sekarang ini?. Jika belum siap, strategi apakah yang dapat kita tempuh agar peternak sapi potong tidak gulung tikar dan sebaliknya mampu memainkan peran aktip dalam pasar global nanti?
Kata kunci: strategi optimasi, teknologi tepat guna, sapi potong, pendapatan peternak.
PENDAHULUAN
Masalah kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian kalangan internasional. Laporan Bank Dunia (2001) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara 1990 dan 1999 telah terjadi peningkatan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan 27,2 juta menjadi 48,4 juta orang. Masa krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 sampai kini masih dirasakan akibatnya. Selama masa krisis telah terjadi kompresi pendapatan antara 6-13% yang berakibat pula terhadap kompresi permintaan hasil ternak. Penyebab utama terjadi kompresi tersebut ialah terjadinya penurunan nilai tukar antara rupiah dengan dolar Amerika hingga 300%. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari banyak kalangan akan masa depan perekonomian kita terutama jika dikaitkan dengan segera berlakunya era pasar bebas (AFTA) tahun depan untuk kawasan Asia dan kawasan Asia Pasifik beberapa tahun kemudian.
Berkaitan dengan sektor pertanian, produktivitas hasil pertanian saat ini dilaporkan oleh Arintadisastra (2002) masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain, yaitu untuk padi masih sebesar 4,4 ton/ha, jagung 2,9 ton/ha, kedelai 1,2 ton/ha dan kacang tanah 1,1 ton/ha. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas ini antara lain karena upaya yang diperlukan agar tanaman tumbuh dengan subur masih belum optimal dilakukan seperti, pengolahan lahan, pemberian pupuk organik, serta sistem irigasi yang memadai. Sebagian besar lahan pertanian kita masih bergantung pada air hujan dan diabaikannya penggunaan pupuk organik sebagai bagian integral dari upaya mewujudkan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture).
Unjuk kerja ternak di Indonesia juga relatif rendah, terutama untuk sapi potong dan sapi perah. Apabila kita bandingkan antara potensi sapi potong domestik dengan kawasan Asia, populasi sapi potong kita baru mencapai sekitar 11 juta ekor dan sekitar 30% terdapat di Jawa Timur. Sementara itu Bangladesh telah memiliki sapi potong hingga 25 juta ekor. China hingga tahun 1999 telah menghasilkan produksi daging sapi sebesar 4,68 juta ton atau setara dengan pemotongan 4.680.000 ekor sapi dengan rataan bobot hidup sebesar 300 kg. Padahal pada tahun 1980-an produksi dagin sapi baru berkisar antara seperempat juta ton dengan total populasi sekitar 70 juta ekor (Bingsheng, 2001).
Meskipun secara kuantitas Indonesia masih lebih unggul jika dibandingkan dengan populasi sapi potong di Filipina, Thailand dan Viet Nam pada kenyataannya laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi di Indonesia masih jauh di bawah sapi di Filipina. Bingsheng (2001) melaporkan bahwa Filipina telah mencapai tingkat produk daging sebesar 79 kg/ekor/th; berarti terjadi PBB setiap hari setara dengan = (79 kg x l00/30)/365 = 721,5 g/ekorlhari, dengan asumsi taksiran produksi daging adalah sebesar 30% dari bobot badan. Sedangkan rataan PBB sapi potong di Indonesia baru berkisar 365,3 g/ ekor/hari atau baru separuh dari capaian PBB sapi potong di Filipina.
Rendahnya tingkat produksi daging menunjukkan bahwa masih banyak faktor pembatas yang dijumpai di beberapa negara seperti Indonesia, Bangladesh, Thailand dan Viet Nam terutama dalam memperoleh pakan yang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu sebagian besar sapi potong di Indonesia berada dalam penguasaan peternak kecil yang tidak memiliki lahan cukup serta modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai (cash bank) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu diperlukan.
Masalah kebutuhan daging, khususnya daging sapi telah menjadi topik utama di berbagai media massa sejak lima tahun terakhir. Untuk mencukupi kebutuhan daging dalam negeri telah lama dilakukan impor sapi bakalan maupun daging beku daari negara tetangga Australia oleh pemerintah Indonesia. Devisa negara yang terkuras untuk impor sapi bakalan maupun daging beku masing-masing adalah sebesar (ribu USD) 115.129 dan 32.434 pada tahun 1996. Jika ditilik dari trend perkembangan nilai impor, untuk sapi bakalan dan daging sapi sejak tahun 1994 masing-masing telah mencapai angka 45% dan 81,88%. Bahkan pada tahun 1997 sebelum resesi nilai keseluruhan impor kita untuk sapi dan daging telah mencapai Rp. 1.152,5 triliun belum terhitung impor ternak dan daging lainnya. Oleh karena itu Indonesia dipandang sebagai pasar potensial bagi negara-negara penghasil ternak dalam era pasar bebas yang telah berada di depan pintu kita.
Terdapat empat pertanyaan kunci yang perlu saya ajukan di awal makalah ini yaitu: pertama, dapatkah Propinsi NTB menjadi salah satu sumber bibit sapi potong nasional?; kedua, strategi apakah yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan keempat, bagaimanakah dampak ekonomi maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB?.
SISTEM PERTAN IAN UTAMA DI ASIA TENGGARA
Sistem pertanian yang diterapkan di kawasan Asia Tenggara ialah sistem pertanian terpadu. Harnpir tidak pernah dijumpai adanya sistem pertanian dengan menggunakan mono komoditas sebagai bagian dari usahatani. Sebaliknya hampir semua petani melakukan strategi sistem pertanian terpadu.
Secara garis besar sistem pertanian di Asia Timur dan wilayah Pasifik dapat dikelompokkan menjadi 11 macam yaitu mulai dari pertanian padi sawah hingga daerah perkotaan (urban based) dimana keterkaitan ternak pada setiap sistem pertanian sangat beragam (Tabel 1). Selain itu dapat pula dilihat adanya keterkaitan antara komoditas utama yang diusahakan dengan tingkat kemiskinan di wilayah yang bersangkutan.
Diantara sistem pertanian yang tercantum pada Tabel 1 di bawah ini, peranan ternak ruminansia paling menonjol pada sistem pertanian lahan kering dimana sekitar 52 juta ruminansia besar serta 49 juta ruminansia kecil terlibat dalam sistem pertanian di wilayah Asia Timur dan Pasifik.
Tabel 1. Sistem Pertanian Utama di Asia Timur dan Wilayah Pasifik (FAO, 2002)
Sistem pertanian
Luas lahan
(% wilayah)
Populasi pertanian
(% wilayah)
Komoditas utama
Tingkat kemiskinan
1
2
3
4
5
Padi sawah
12
42
Padi, jagung, kecang-kacangan, tebu, biji-bijian untuk minyak, sayuran, ternak, perikanan, pekerjaan sampingan (off farm work)
Moderat
Kombinasi tanaman pohon
5
3
Karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, teh, coklat, rempah-rempah, padi, ternak, pekerjaan sampingan (off farm work)
Moderat
Umbi-umbian
2
< 1
Umbi-umbian, (yam, taro, ubi jalar), sayuran, buah-buahan, ternak (babi dan sapi), pekerjaan sampingan (off farm work)
Terbatas
Campuran tanaman tegal/lahan kering intesif
19
27
Padi, kacang-kacangan, jagung, tebu, biji-bijian untuk minyak, buah, sayuran, ternak, pekerjaan sampingan (off farm work)
Ekstensip
Campuran tanaman dataran tinggi intensif
5
4
Padi dataran tinggi, kacang-kacangan, jagung, bijian-bijian untuk minyak, buah, produk hutan, pekerjaan sampingan (off farm work)
Moderat
Campuran tanaman sub-tropis
6
14
Gamdum, jagung, kacang-kacangan, tanaman minyak, ternak, pekerjaan sampingan (off farm work)
Moderat
1
2
3
4
5
Pastoral
20
4
Ternak dengan tanaman pertanian irigasi di wilayah yang memungkinkan
Moderat
Hutan
10
1
Berburu, berkumpul dan pekerjaan sampingan (off farm work)
Moderat
Wilayah Arid (Sparse)
20
2
Penggembalaan lokal jika tersedia air, pekerjaan sampingan (off farm work)
Ekstensip
Coastal Artisanal fishing
1
2
Menangkap ikan, kelapa, pertanian campuran, pekerjaan sampingan (off farm work)
Moderat
Urban based
< 1
1
Hortikultura, sapi perah, unggas, pekerjaan sampingan (off farm work)
Terbatas
Catatan: Tingkat kemiskinan lebih mengarah pada jumlah dan bukan kedalaman kemiskinan di wilayah survey
Tingkat kontribusi ternak, khususnya ruminansia pada daerah lahan kering tersebut di atas juga selaras dengan laporan Ifar Subagyo (1996) bahwa dengan sampel dua desa di wilayah lahan kapur Malang Selatan, kontribusi tanaman pangan terhadap petani adalah sebesar 51%, sedangkan peranan ternak ruminansia hanya sebagai suplemen penghasilan disebabkan oleh keterbatasan lahan untuk diolah sebagai sumber pakan. Oleh karena itu strategi yang dilakukan oleh petani di daerah tersebut ialah melalui mencari tambahan penghasilan dari aktivitas di luar sektor pertanian (off farm activities).
Hasil penelitian tim Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (Anonymous, 1998) di Desa Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur menunjukkan bahwa peternak sapi potong di daerah tersebut tidak ada yang menggantungkan sumber pendapatannya dari mono aktivitas, melainkan dari berbagai macam sumber, yaitu 46% berasal dari pendapatan di sektor pertanian, 7% berasal dan upah buruh tani dan 13% dari usaha sapi potong. Meskipun relatif kecil kontribusinya, sekitar 2/3 penduduk desa Sono Ageng (termasuk mereka yang tidak memiliki lahan) umumnya memelihara sapi potong dengah tujuan utama memperoleh pedet dibandingkan untuk penggemukan. Oleh karena itu pemberian pakan dengan kuantitas serta kualitas yang memadai untuk sapi potong induk jarang diperhatikan. Akibatnya skor kondisi tubuh induk menjadi buruk (skor kondisi tubuh 1-2) hingga pedet disapih serta jarak beranak menjadi relatif panjang (50% induk kembali oestrus setelah lebih dari 200 hari pasca melahirkan). Sebaliknya kondisi tubuh pedet sangat bagus karena selain memperoleh susu dari induk hingga masa enam bulan juga acapkali peternak memberikan pakan konsentrat untuk pedet tersebut.
Merujuk kondisi yang ada di Indonesia, Soehadji (1995) membagi tipologi usaha ternak di Indonesia berdasarkan skala usahanya menjadi empat yaitu: pertama, usaha ternak sebagai sambilan dengan pilihan komoditas pendukung pertanian (kungtan), kedua usaha ternak sebagai cabang usaha dengan pilihan komoditas campuran, ketiga usaha ternak sebagai usaha pokok dengan pilihan komoditas tunggal berupa ternak, dan keempat usaha ternak sebagai industri dengan pilihan komoditas 100% merupakan pilihan yang dianggap secara bisnis menguntungkan. Oleh karena itu berdasarkan tipologi usaha tersebut tingkat pendapatan yang diperoleh oleh petani juga menjadi beragam sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.
 





































           
              30-70%        100%


Pendapatan
  30%               70-100%
Peranan pemerintah (Sbg. `Regulator, fasilitator, dinamisator

Pilihan Komoditi    KungTan  (Campuran)   Tugal   Pilihan


Gambar 1. Tipologi Usaha Peternakan dan Tingkat Pendapatan

sbr.: Soehadji (1995)
Kondisi tersebut umumnya juga dijumpai di wilayah lain di Indonesia, sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitas sapi potong juga memerlukan strategi yang tepat tidak hanya menyangkut penerapan teknologinya namun juga perlu dipikirkan suatu rekayasa sosial yang sesuai dengan kondisi sosial serta budaya setempat.
FAKTOR PEMBATAS TEKNIS PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG DI INDONESIA
Bibit Sapi Potong
Isu tentang menurunnya mutu genetis sapi potong asli Indonesia seperti sapi Bali dan sapi Madura telah lama terdengar akibat pengurasan sapi bibit karena semata-mata untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat, tanpa diikuti dengan program pengembangan pembibitan yang memadai. Program village breeding centre (VBC) di P. Madura sebenarnya cukup berhasil dalam hal perbaikan mutu genetis sapi Madura. Namun demikian laju permintaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan populasi secara alamiah, mendorong pengurasan sumber bibit untuk dijadikan sebagai penghasil daging.
Selain itu masalah manajemen pemeliharaan serta penguasaan IPTEK yang belum memadai merupakan faktor penyebab pula terhadap merosotnya mutu genetis sapi-sapi tersebut. Sebagai teladan, sapi Bali dan sapi Madura yang lelah layak dipasarkan pada era 30 tahun yang lalu mampu mencapai bobot badan 300 kg. Akan tetapi saat ini sulit untuk memperoleh bobot sebesar itu untuk sapi Bali maupun sapi Madura.
Secara langsung saya pernah menemukan pedet sapi Bali umur hampir dua tahun dengan ukuran tubuh pedet usia 8 - 10 bulan di NTT sebagai salah satu sumber sapi Bali di Indonesia. Laporan Komarudin Ma’sum (menyebutkan bahwa rataan usia serta bobot badan sapi Madura yang paling banyak dipotong di RPH Surabaya adalah berumur 2,5 - 3,0 tahun (PI2) dengan bobot badan 224,8 kg. Sementara itu dengan sistem pemeliharaan yang intensip, sapi Madura jenis sapi sonok mampu mencapai bobot badan hingga 295 kg pada umur yang sama yaitu PI2 (Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993).
Introduksi jenis bibit sapi potong impor semacam Limousine, Silangan Brahman atau Angus menjadi fenomena baru di bidang bisnis sapi potong di beberapa wilayah tanah air. Laju pertumbuhan sapi impor yang relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi lokal telah mendorong meningkatnya permintaan akan bibit sapi potong  Limousine dan Silangan Brahman, khususnya dikalangan peternak di P. Jawa. Meskipun demikian dari pengamatan penulis, kebutuhan pakan jenis sapi tersebut juga lebih banyak dibandingkan dengan sapi lokal sehingga jika dilakukan telaah ekonomis lebih dalam  belum lentu akan menghasilkan keuntungan yang memadai, mengingat harga beli pedet saat ini jauh lebih tinggi (hingga dua kali lipat) dari harga pedet sapi lokal. Sementara itu harga jual sapi potong umumnya ditaksir berdasarkan harga per kg daging yang relatif tidak jauh berbeda antara sapi impor dan sapi potong.
Program peningkatan produktivitas ternak acapkali dimulai dengan melakukan introduksi jenis sapi eksotik yang sudah barang tentu memerlukan input eksotik, seperti pakan yang memadai secara kuantitas dan kualitas, pencegahan penyakit serta lingkungan yang memadai agar dapat menampilkan potensi genetiknya. Tidak jarang program semacam ini akhirnya mengalami kegagalan karena ketidak mampuan kita dalam menyediakan input eksotik tersebut (lihat Ørskov, 1993). Contoh konkrit kegagalan program tersebut ialah pengembangan sapi perah di P. Jawa dimana saat ini tingkat produksi susu rataan hanya mencapai antara 8 - 10 lt/ekor/hari untuk sapi PFH, padahal semula diproyeksikan mampu menghasilkan susu hingga 15 lt/ekor/hari. Contoh lain adalah kegagalan program perbaikan genetik sapi Madura dengan menggunakan sapi Santa Gertrudis beberapa tahun yang lalu, atau program Brangusisasi di NTB yang merupakan pelajaran berharga bagi kita semua dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi potong di Indonesia
Pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa program-program tersebut mengalami kegagalan?. Bukankah sebelum dilaksanakan program tersebut telah mengalami pengkajian yang mendalam? Ataukah ada faktor lain yang mendorong proses pengambilan keputusan tergesa-gesa tersebut?
Pakan
Produktivitas ternak merupakan refleksi interaksi antara faktor genetis dan lingkungan. Cekaman panas yang disertai dengan kelembaban udara tinggi memerlukan metabolit tertentu seperti glukosa, elektrolit (antara lain Na+, K+, Cl¯ serta air dalam jumlah memadai untuk melawan cekaman (stres). Akan tetapi justru di daerah tropis basah seperti Indonesia, tanaman sebagai sumber hijauan akan lebih cepat menurun kualitasnya sehingga selama proses fermentasi di dalam rumen hijauan akan lebih banyak menghasilkan asam asetat yang secara teoritis sesungguhnya merupakan sumber enersi potensial bagi ternak. Bersama dengan asam lemak terbang (VFA) lainnya (asam propionat dan butirat), asam asetat mampu memasok hingga 80 % kebutuhan kalori ternak ruminansia. Akan tetapi efisiensi penggunaannya sangat tergantung pada ketersediaan koensim tereduksi NADPH yang disintesis melalui produk hasil metabolisme glukosa.
Oleh karena itu apabila ternak ruminansia hanya diberi pakan sumber hijauan berkualitas rendah, misalnya jerami padi atau sumber hijauan dari limbah pertanian lainnya yang berkualitas rendah dan tidak mampu memasok glukosa atau bakalannya dalam jumlah memadai, maka ternak tersebut sulit untuk meningkat atau bahkan mempertahankan bobot badannya. Dalam kondisi ini asam asetat yang diserap akan mengalami metabolisme melalui jalur futile cycle dan akan menyebabkan kehilangan panas yang amat berlebihan. Kondisi ini akan memperparah cekaman pada ternak terutama jika selain suhu udara luar panas juga diikuti dengan kelembaban udara tinggi, sehingga potensi enersi yang dimiliki oleh asam asetat menjadi terbuang sebagai panas yang dilepaskan (heat dissipation) atau bahkan panas justru tidak dapat dilepaskan sehingga produktivitas ternak menjadi menurun karena enersi yang tersedia lebih banyak digunakan untuk melawan cekaman panas tersebut.  Telaah teoritis tentang hubungan antara proses metabolisme ternak ruminansia yang diberikan hijauan berkualitas rendah dalam hubungannya dengan metabolisme glukosa telah dilakukan oleh beberapa penulis antara lain Soetanto (1991).
Memperhatikan uraian di atas maka problem utama di bidang pakan adalah pasok pakan yang tidak memadai baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.
Manajemen Pemeliharaan
Selain faktor pakan, manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak sapi potong saat ini acapkali masih kurang memadai Bentuk kandang yang umumnya tidak dilengkapi dengan tempat minum merupakan salah satu contoh kurangnya pemahaman peternak akan arti penting air sebagai komponen gizi yang sangat diperlukan ternak untuk daerah tropis basah. Bahkan peternak sapi perah juga tidak menyediakan air minum sepanjang hari (ad libitum) melainkan hanya diberikan dua kali sehari bersama dengan pemberian konsentrat. Padahal dengan menyediakan air secara ad libitum, produksi susu dapat ditingkatkan hingga 2 lt/ekon/hari tanpa harus menambahkan pakan suplemen. Hal ini telah dipraktekan oleh peternak sapi perah di Thailand.
Kebersihan kandang sapi potong yang dimiliki oleh peternak kecil umumnya tidak memiliki sumber air yang cukup untuk membersihkan kotoran ternak, sehingga semakin menambah potensi infeksi cacing parasit. Selain itu program pencegahan penyakit termasuk di dalamnya kontrol terhadap infestasi cacing parasit saluran pencernakan yang kurang intensip dilakukan oleh peternak juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas sapi potong saat ini. Hampir 80 % pedet sapi potong di desa Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terserang cacing Toxocara vitolorum (Anonymous, 1998) yang menjadi petunjuk masih lemahnya perhatian peternak terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh gangguan cacing parasit terhadap produktivitas temak.
Walkden-Brown dan Khan (2002) menyatakan bahwa pengaruh cacing parasit saluran pencernakan ini lebih memiliki implikasi terhadap penurunan serapan protein, sehingga acapkali konsekuensinya justru berakibat pada menurunnya konsumsi pakan serta penurunan bobot badan. Tengarah ini dapat dibuktikan melalui infus casein langsung pada abomasum yang akan dapat menghilangkan gejala menurunnya konsumsi maupun penurunan bobot badan ternak yang menderita infeksi cacing parasit saluran pencernakan. Hal ini berarti secara aplikatip dapat dilakukan suatu strategi suplementasi dengan menggunakan protein by-pass, baik menggunakan pelindung kimiawi buatan misalnya dengan formaldehida atau memilih sumber protein yang memiliki pelindung kimiawi alamiah semisal hijauan leguminosa yang mengandung senyawa tannin.
Kaasschieter et at. (1992) menyatakan bahwa program pengembangan ternak serta kesehatan ternak di negara sedang berkembang acapkali tidak dapat meningkatkan produktivitas ternak karena seringkali hanya berorientasi kepada eradikasi penyakit semata. Sebagai contoh program pemberantasan penyakit mulut dan kuku dilakukan tanpa ada pertimbangan pendekatan orientasi produksi. Disamping itu keterbatasan sarana serta fungsi petugas kesehatan hewan, keterbatasan dalam hal jaringan distribusi obat-obatan serta mengabaikan benefit/cost ratio juga merupakan fenomena yang banyak dijumpai di negara sedang berkembang. Pendekatan monodisiplin ini berakibat kepada pemahaman yang kurang menyeluruh terhadap masalah yang dihadapi peternak. Padahal sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa sub-sektor peternakan merupakan suatu system produksi multiguna dan memiliki hubungan yang kompleks antara faktor produksi satu dengan lainnya. Mispersepsi ini merupakan salah satu faktor penghambat pengembangan peternakan yang berkelanjutan di negara yang sedang berkembang.


KETERSEDIAAN IPTEK TEPAT GUNA DI BIDANG SAPI POTONG
Sejak satu dekade terakhir ini begitu banyak seminar, lokakarya atau sejenisnya yang telah dilakukan di Indonesia dalam rangka menghimpun teknologi yang tersedia di bidang produksi sapi potong. Dalam lokakarya nasional I Bioteknologi Peternakan di Ciawi pada tangga! 22 - 23 Januari 1995 telah dikupas berbagai perkembangan biotekonologi reproduksi ternak, bioteknologi pakan, bioteknologi kesehatan hewan serta aspek keamanan ternak dan konsumen sehubungan dengan perkembangan bioteknologi tersebut.
Teknik transfer embrio saat ini telah diaplikasikan pada skala demoplot di peternak di beberapa daerah melalui program IPTEKDA terpadu LIPI. Namun selalu timbul pertanyaan apakah inovasi teknologi ini akan berkelanjutan? dan berapa banyak peternak yang mau dan mampu mengadopsinya?. Sementara itu teknologi yang relatip sederhana seperti inseminasi buatan masih pula banyak dijumpai kendala pelaksanaannya di lapang.
Contoh lain adalah teknologi suplementasi UMMB yang dikembangkan oleh BATAN telah diaplikasikan di berbagai wilayah di Indonesia, namun seringkali terbentur pada proses adopsi karena inovasi teknologi tersebut tidak segera diikuti dengan inovasi baru untuk mengganti molasses sebagai komponen utama dengan sumber pakan lainnya. Akibatnya ketika proyek selesai, selesai pulalah proses adopsi oleh peternak dengan berbagai alasan.
Para ilmuwan sekarang ini telah nampu melakukan rekayasa genetika dengan teknik kloning sehingga dapat dihasilkan jenis ternak yang diinginkan untuk masa mendatang. Teknik pemisahan sperma yang dikembangkan oleh sejawad saya di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang telah berlangsung cukup intensip sejak 6 tahun terakhir, namun selalu kita berhadapan dengan belum adanya bukti konkrit di lapang akan manfaat pemisahan semen tersebut secara ekonomis. Demikian pula perkembangan inovasi teknologi pakan serta kesehatan hewan telalu banyak dikemukakan oleh berbagai pakar yang dapat dijumpai di berbagai pustaka saat ini.
Sebagai contoh, meskipun inovasi teknologi pengolahan limbah pertanian dengan teknik amoniasi telah menjadi proyek dunia, namun berakhir dengan kegagalan adopsi oleh peternak kecil. Contoh menarik adalah yang terjadi di Nepal, bahwa ternyata teknologi amoniasi justru menyusahkan peternak gurem karena persediaan jerami yang semula mampu digunakan selama empat bulan menjadi cukup hanya dua bulan akibat meningkatnya kecernakan pakan yang diikuti meningkatnya konsumsi (Shrestha, 1991). Program inovasi teknologi yang telah dikembangkan melalui berbagai proyek di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pertanian, BPTP atau melalui program IPTEKDA baik yang dilansir oleh BATAN, LIPI sampai saat ini belum mampu mendongkrak produktivitas sapi potong secara signifikan, karena baru pada tataran forum seminar. Kondisi ini justru seringkali dimanfaatkan oleh beberapa ”pengusaha nakal” dengan cara memasarkan produk dengan publikasi menarik semisal ”Bossdext” yang dinyatakan oleh produsennya mampu meningkatkan PBB sapi antara 3,5 – 5,0 kg/hari/ ekor.
Memperhatikan perkembangan IPTEK di bidang sapi potong di Indonesia saat ini, tampaknya masih belum banyak alternatif pilihan yang dapat dikemukakan. Pada tingkat peternak gurem tujuan utama pemeliharaan adalah untuk keperluan status sosial, tabungan hidup, sumber tenaga kerja atau pupuk. Sehingga ragam input yang diberikan juga relatip terbatas hanya pada ketersidaan sumberdaya pakan disekitarnya yang dapat diakses tanpa biaya.
Kegagalan peneliti dalam memahami persepsi peternak menjadi salah satu faktor dominan kegagalan adopsi inovasi teknologi betapapun menurut peneliti bahwa teknologi tersebut telah dipandang sebagai teknologi tepat guna untuk meningkatkan produksi ternak. Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut berikut ini dipaparkan pendapat Ibrahim (1994) sebagaimana tercantum pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Perhedaan persepsi antara peneliti dan peternak (Ibrahim, 1994)
Kriteria
Peneliti
Peternak
Sapi perah adalah sumber

Semakin banyak ternak dipandang

Menyapih pedet

Kriteria untuk evaluasi pakan

Alasan tidak diadopsi

Air susu

Menimbulakan masalah

Baik

Kadar protein & energi

Peternak kurang peduli
Pedet

Simbol kemakmuran

Tidak baik

Biaya pakan
Manfaatnya thp. produksi ternak
Teknologi tidak aplikatip




Kriteria
Peneliti
Peternak
Padang rumput


Pakan jerami


Jerami amoniasi

Biogas


Silase


Molasses Urea Block1
Mengurangi pakan konsentrat

Dapat diberikan jika kekurangan hijauan

Teknologi sederhana

Untuk masak & penerangan

Pakan untuk musim kemarau

Meningkatkan produksi
Tidak memiliki lahan khusus, prioritas untuk tanaman pangan

Jerami untuk ternak kerja, tidak punya jerami dlsb.

Tidak ada waktu, input, dlsb

Faeces untuk pupuk, mahal dsb


Tidak punya cukup rumput, tidak ada waktu

Tidak ada biaya
1 Soetanto dkk (2000) Aplikasi Molasses Urea Block untuk Sapi Perah di Pos Penampungan Susu Ngeprih, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang (Laporan tidak dipublikasikan)
Pertanyaan yang patut diajukan dalam forum seminar kali ini ialah “mengapa kita belum mampu menghasilkan inovasi teknologi terapan di bidang sapi potong ?“. Jawaban yang dapat saya kemukakan ialah:
1.       Orientasi penelitian kita masih bersifat parsial dan sering tidak berkelanjutan
2.       Topik penelitian lebih banyak bersifat monodisiplin
3.       Persepsi antara peneliti dengan peternak seringkali berbeda dalam hal memandang tolok ukur komoditas sehingga adopsi teknologi relative rendah
4.       Kerangka dasar penelitian seringkali berorientasi pada kondisi daerah sub-tropis yang tidak memiliki keterkaitan dengan ternak di daerah tropis
5.       Masih lemahnya koordinasi lintas disiplin dan lintas departemen walaupun di atas kertas terjalin kerjasama
6.       Benarkah para stakeholder usaha sapi potong telah bersungguh-sunguh dalam hal komitmen untuk  berupaya meningkatkan produktivitas ternak.
MENCARI TEKNOLOGI TEPAT GUNA YANG APLIKATIP
Menurut pendapat saya suatu teknologi tepat guna ialah teknologi yang dapat diterapkan oleh pengguna dengan mudah dan berdaya guna sehingga dapat mendorong tercapainya tujuan berusaha. Oleh karena itu tentu persepsi seorang peneliti akan berbeda dengan petani karena adanya perbedaan tujuan berusaha tersebut. Persoalan yang lebih penting adalah bagaimana para peneliti dapat meruntuhkan egonya agar sesuai dengan tujuan peternak dalam mengusahakan bisnisnya.
Teknologi untuk produksi sapi potong dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama yaitu: (1) teknologi reproduksi dan breeding; (2) teknologi pakan; dan (3) teknologi manajemen pemeliharaan. Di luar ketiga teknologi tersebut masih perlu pula dikembangkan teknologi pasca panen bagi produk hasil ternak yang berorientasi pasar.
Teknologi Reproduksi dan breeding
Hingga saat ini telah banyak saran dikemukakan oleh para pakar di bidang pemuliaan ternak untuk mengatasi kelangkaan bibit sapi potong, namun tampaknya antara konsep dan pelaksanaan di lapang banyak terjadi penyimpangan terbukti laju permintaan daging sapi dengan kemampuan memasok semakin hari semakin bertolak belakang. Pokok permasalahan yang ada karena usaha sapi potong di Indonesia saat ini bertumpu pada peternakan rakyat (99%, menurut Djarsanto, 1998) dengan skala pemilikan yang sangat kecil, sehingga sulit menerapkan konsep yang ada karena dorongan kebutuhan ekonomis acapkali menyebabkan peternak harus melepas bibit sapi potong unggul yang dimilikinya sebelum menghasilkan turunan untuk disebarkan. Secara rinci pilihan teknologi reproduksi dan pemuliaan untuk menghasilkan bibit sapi potong sudah dikemukakan oleh Wartomo Hardjosubroto (1994), Kusumo Diwyanto dan Subandryo Tappa (1995) maupun penulis lainnya yang memiliki keahlian dalam bidang sejenis.
Untuk tujuan jangka pendek, rekayasa teknologi yang dapat dijadikan pilihan adalah penerapan teknologi reproduksi yang mampu untuk memberikan nilai tambah dalam hal:
¬  Meningkatkan fertilitas sapi betina maupun jantan :
¬  Memperpercepat timbulnya oestrus post partum
¬  Meningkatkan angka konsepsi
¬  Menurunkan angka kematian embrio/abortus -
¬  Meningkatkan angka kelahiran.
Dalam uraian Nicholas (1996) dijelaskan bahwa pengaruh mendasar dari teknologi reproduksi adalah meningkatkan potensi reproduksi ternak. Hal ini berarti semakin sedikit induk yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah anak jika dibandingkan dengan menggunakan perkawinan alam. Sebagai akibat akan terjadi seleksi secara intensip dengan hasil meningkatnya rataan mutu genetik turunannya. Jika teknologi reproduksi digunakan dalam suatu populasi tertutup, maka akan terjadi laju peningkatan  mutu genetik di dalam populasi tersebut. Inilah keuntungan yang diberikan oleh teknologi reproduksi saat ini.
Meskipun demikian terdapat pula segi kelemahan dari penggunaan teknologi reproduksi karena adanya peluang inbreeding serta adanya keragaman yang besar dalam hal respon ternak terhadap teknologi yang diterapkan. Masalah ini merupakan dilema antara teknologi reproduksi dengan tujuan breeding sehingga diperlukan kecermatan seksama dalam hal pemilihan teknologi yang hendak digunakan. Teknologi reproduksi yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi setempat adalah: (a) inseminasi buatan, (b) MOEF, (c) semen sexing, (d) embryo sexing, (e) cryopreservasi semen, ova dan embrio, (f) produksi embrio in vitro dan (g) embrio kloning (Nicholas, 1996).
Berkaitan dengan program pembibitan sapi potong ada tiga pertanyaan pokok yang harus dijawab sebelum melakukan kegiatan tersebut, yaitu:
Apakah tujuan program pembibitan ?;
Bangsa ternak apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan ?;
Sistem pembibitan apa yang akan diterapkan ?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan tujuan umum yaitu meningkatkan produksi sapi potong per induk dan per satuan luas lahan. Untuk lebih spesifik, tujuan tersebut dapat dijabarkan sebagai upaya untuk memperoleh:
¬  Fertilitas optimum
¬  Daya tahan optimum pedet hingga saat disapih
¬  Pertumbuhan optimum
¬  Komposisi karkas optimum
¬  Keuntungan optimum tiap induk atau tiap luasan lahan
Bagi Propinsi NTB tujuan pembibitan sapi potong adalah untuk mewujudkan visi Propinsi NTB sebagai salah satu sumber bibit sapi potong di Indonesia. Oleh karena itu pilihan bangsa sapi potong yang dapat memenuhi tujuan tersebut haruslah dipilih bagsa sapi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Propinsi NIB serta dapat memenuhi tujuan pembibitan tersebut. Kita memiliki bangsa sapi lokal yaitu, sapi Bali, sapi Madura dan P.O disamping sapi Aceh. Sapi Bali terkenal memiliki fertilitas tinggi, tahan panas dan serangan parasit kulit namun PBB relatif rendah jika dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya. Hingga saat ini sulit dijumpai sapi Bali maupun sapi Madura yang mampu tumbuh setiap hari hingga mencapai 1 kg/ekor pada tingkat peternakan rakyat. Selain itu sejak tahun 1998 permintaan bibit sapi Bali sudah tidak dapat dipenuhi (Djarsanto, 1998). Para feedlotter yang banyak terdapat di Propinsi Lampung maupun di pulau Jawa umumnya lebih menyukai sapi persilangan jenis Brahman yang mampu tumbuh di atas 1 kg/ekor/hari jika kualitas dan kuantitas pakan memadai.
Teknologi pakan
Teknologi pakan seringkali diabaikan dalam rangka pengembangan bibit ternak ruminansia besar Padahal sebesar apapun potensi genetis ternak tanpa memperoleh pasok pakan yang memadai akan tidak dapat menampilkan potensi genetiknya. Pada skala peternakan rakyat, pemberian pakan sapi potong belum memadai dalam hal kualitas mapun kuantitas. Pengalaman penulis melakukan penelitian selama dua tahun di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu kabupaten dengan populasi sapi potong padat, mencatat bahwa pemberian pakan sapi potong hanya dilakukan dengan memberi jerami padi, rumput lapangan dan dedak padi dalam jumlah yang sangat kurang dari kebutuhan setiap stadia fisiologis ternak kecuali untuk pedet. Praktik penyapihan pedet hingga 6 bulan membawa konsekuensi panjangnya interval beranak hingga melebihi 18 bulan, kendatipun skor kondisi tubuh pedet sangat bagus karena memperoleh susu induk secara ad libitum. Sebaliknya skor kondisi induk sangat rendah sebagai akibat adanya pengurasan cadangan protein dan lemak tubuh. Sehingga rataan service per conception juga lebih dari 2 (Soetanto dkk., 1996 Laporan Penelitian tidak dipublikasikan). Melalui serangkaian analisis dapat ditemukan akar permasalahan yaitu terbatasnya potensi daerah tersebut untuk memasok pakan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga jika efiseinsi reproduksi ditingkatkan untuk memperpendek interval beranak maka dapat dipastikan inovasi suplementasi tidak akan diadopsi dan tidak berkelanjutan.
Berbeda dengan kondisi di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Propinsi NTB (khususnya Sumbawa) justru memiliki potensi daya dukung pakan yang relatip besar serta populasi sapi relatif rendah, Oleh karena itu untuk menekan biaya produksi maka selayaknya juga skala usaha untuk peternakan rakyat dapat diberikan minimal 5 ha/keluarga sehingga teknologi semi padang penggembalaan dapat diterapkan atau paling tidak meskipun dengan sistem cut and carry, biaya pakan dapat lebih ditekan karena kebutuhan konsentrat dan bahan butiran dapat disubstitusi dengan leguminosa pohon.
Pilihan teknologi pakan yang dapat dianjurkan ialah:
¬  Padang penggembalaan dengan tanaman campuran antara rumput dan leguminosa merayap (misalnya rumput bintang dengan Stylosanthes, Centrosema, atau Desmodium).
¬  Penanaman rumput unggul (misalnya rumput Taiwan) untuk digunakan dalam sistem cut and carry atau leguminosa pohon sebagai sumber protein, misalnya lamtoro, gliricidia, kelor (Moringa oleifera, Limm) atau mulberry (Murus alba). Tanaman kelor merupakan tanaman sumber protein masa depan karena kandungan asam aminonya yang seimbang serta melebihi kebutuhan untuk anak balita sesuai standar FAO (Makkar and Becker, 1996). Sedangkan daun mulberry dilaporkan mampu menggantikan separuh dari nilai nutrisi bungkil biji rape (rape seed meal) pada domba (Liu et al.., 2000).
¬  Teknologi suplementasi dengan menggunakan limbah pentanian untuk memenuhi kebutuhan protein, enersi atau mineral dalam rangka meningkatkan reproduksi ternak. Untuk Pulau Lombok dan Sumbawa (Propinsi NIB) penggunaan hijauan leguminosa yang berpotensi sebagai protein by-pass dapat dianjurkan jika harganya layak secara ekonomis. Manfaat suplementasi dengan sumber protein by-pass dalam neningkatkan efisiensi produksi karena protein by-pass dapat meningkatkan konsumsi ternak serta memasok kebutuhan glucosa. Ilustrasi akan manfaat suplementasi protein by-pass disajikan pada Gambar 2 dan 3.
¬  Manipulasi fermentasi rumen dengan menggunakan rumen modifyers seperti lasalocid, monensin untuk tujuan fattening dengan kualitas karkas tertentu.
¬  Teknologi pengawetan hijauan segar (silase) maupun kering (hay) sehingga dapat dibuat program jangka panjang terhadap kemampuan memasok pakan untuk populasi sapi yang terdapat di wilayag tersebut, terutama ketika musim kering tiba.
Segi penting nutrisi untuk reproduksi ternak telah banyak dibahas oleh para pakar. Menurut Robinson (1996) defisiensi nutrisi selama kehidupan janin dan neonatal akan mempengaruhi lifter size.. Selain itu defisiensi mineral Co pada kebuntingan awal berpengaruh terhadap vigoritas pedet pada saat kelahiran serta menyebabkan depresi terhadap imunitas pasip ternak yang bersangkutan. Pengaruh pakan juga dapat mengganggu pubertas, jumlah ovulasi, keselamatan embrio, skor kondisi tubuh saat beranak yang akan berpengaruh terhadap lama waktu timbulnya berahi kembali post partum, berpengaruh terhadap metabolisme pedet fase neontal, dan berpengaruh terhadap reproduksi pejantan.
Gambar 2. Respon pedet yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap pertambahan  suptemen protein by-pass (Leng ,2002).
Catatan: Y axis menunjukkan peningkatan bobot badan di atas pertambahan bobot badan kelompok ternak yang tidak diberi suplemen.
Gambar 3. Respon sapi muda yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap sumber protein by-pass dengan memperhatikan dua tingkat suplementasi: (1) antara 0 - 1 g/kgBB dan (2) antara 1 – 6 g/kgBB (Leng, 2002)
Teknologi Manajemen Pemeliharaan
Program untuk meningkatkan produksi sapi potong dapat dilakukan melalui perbaikan teknik manajemen sebagai berikut:
·         Bull soundness evaluation (evaluasi berdasarkan kelayakan sifat pejantan sesuai dengan karakter ekonomis yang dikehendaki)
·         Seleksi genetik
·         Program manajemen sapi betina induk
·         Program manajemen sapi dara
·         Kontrol terhadap perkawinan
·         Diagnosis kebuntingan
·         Pemberian pakan suplemen sesuai dengan fase fisiologis ternak
·         Program kesehatan ternak
·         Impilikasi ekonomis terhadap pilihan teknologi yang digunakan
PENUTUP
Uraian yang telah dikemukakan di atas merupakan konsep ideal yang masih harus dijabarkan secara operasiona! di lapang. Apabila hal tersebut dapat diterapkan maka keempat pertanyaan kunci yang saya ajukan di awal makalah ini, yaitu: pertama, dapatkah Propinsi NTB menjadi sala satu sumber bibit sapi potong nasional? kedua, strategi apakah yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan keempat, bagaimanakah dampak ekonomi maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB? sangat memungkinkan untuk terjawab.
Memperhatikan potensi wilayah Propinsi NTB serta kekuatan lain yang telah banyak dikemukakan kiranya dapat dijawab pertanyaan pertama, hahwa potensi sebagai salah satu sumber bibit sapi potong di masa mendatang dapat diwujudkan,
Strategi yang dapat diterapkan perlu dikelompokkan menjadi strategi jangka pendek, yaitu: (1) industri hulu dikelola o]eh institusi dengan skala penguasaan lahan antara 100 - 500 ha dengan pemilikan sapi potong minimal 500 ekor; (2) menjamin tersedianya semen beku di daerah (3) menerapkan strategi VBC untuk wilayah terpilih; (4) memperbesar penguasaan lahan peternakan rakyat menjadi minimal 5 ha per peternak; (5) memberikan bantuan modal usaha dengan syarat lunak kepada peternak rakyat maupun investor skala menengah; (6) menata kelembagaan usaha sapi potong sehingga akan memperlancar interaksi antara industri hulu dengan industri hilir maupun idustri diantaranya; (7) melakukan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit sapi potong yang dapat mengganggu program pembibitan; dan (8) peningkatan mutu SDM. Stragi jangka panjang yang dianjurkan ialah; (1) meningkatkan peran Lembaga R & D yang melibatkan para pakar di bidang peternakan sapi potong untuk memperoleh bibit sapi potong yang sesuai untuk kondisi daerah tropis basah dengan mengembangkan karakter ekonomis semisal; fertilitas tinggi, angka distokia rendah, produksi susu memadai, berat sapih tinggi, potensi pertambahan bobot badan tinggi, sifat jinak, komposisi karkas ideal dlsb; (2) penerapan teknologi canggih (bioteknologi) di hidang reproduksi, pakan dan kesehatan veteriner yang dapat diperankan oleh suatu institusi.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous 1998. Increasing productivity of tropical Crop Livestock Sustems By Optimal Utilisation of Crop Residues and Supplementary Feeds.  Summary Reports of European Comission Supported STD3-projects (1992-1995).  Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation ACP-EU, pp.  216 - 218.
Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993.  Studi Tentang Prestasi Berat Badan dan Ukuran Tubuh Sapi Sonok.  Procceding : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12 Oktober 1992.  Penyunting Komarudin Ma’sum Ali Yusran dan Marwan Rangkuti.  Sub Balai Penelitian Ternak Grati , Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, halaman: 236 - 240.
Arintadisastra, S. (2002) Indonesia Mampu Meningkatkan Produksi Pertanian dengan “Empat Entry Point”.  Sinar Tani Edisi 23 – 29 Oktober 2002
Bingsheng, K. E.  2001 Perpectives and Strategies for Asian Livestock Sector In The Next Three Decades: Sub-Regional Report China.  Agricultural and Natural Resource Economics Discussion Paper 02/2001.  School of Natural and Rural System, University of Queensland, St. Lucia 4072, Australia
Djarsanto , 1998.  Kebijakan Pengembangan Pembibitan Khususnya Sapi Potong.  Makalh disampaikan pada Workshop UMMB, Batan di Blora, 16 Juni 1998
FAO. (2002).  http\\www.fao.org.\Farming System and Poverty- Full text.html
Hoffman, D. 1999.  Asia Livestock to The Year 2000 and Beyond . Working Paper Series ½. FAO Regional Office for Asia and the Pasific, Bangkok, September 1999
Ibrahim, N.M.N.  1994.  Livestock Development Programmes and Their Impact On Small Scale Dairy Farming In Sri Lanka, In : Constraints and Opportunities For Increasing The Productivity Of Catlle In Small Scale Crop Livestock System.  Proccedings of an internal mid-term workshop, CEC. Research Project TS3 – CT92-0120, pp. 146 – 152 Eds. G. Zemmelink et. al. Held in The Institute of Continuing Education (ICE) Department of Animal Production & Helath, Perdeniya, Sri Lanka, November 14 - 19 1994
Ifar Subagiyo, 1996.  Relevance of Ruminants In Upland Mixed-Farming System In East Java, Indonesia Ph.D Thesis. Agricultural University of Wageningen, Tehe Netherlands.
Kaaschieter, G.A.  de jong, R. Schiere, J.B. and Zwart, D. 1992.  Towards Sustainable Livestock Production In Developing Countries And The Importance Of Animal Health Strategy Therein.  The Veterenary Quarterly, Vo.14, No.2 : 66-75
Komarudin Ma’sum, 1993.  Hasil-hasil Penelitian Sapi Madura di Sub-Balai Penelitian Grati – Pasuruan.  Proccedings : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12 Oktober 1992.  Penyunting Komarudin Ma’sumAli Yusran, dan Marwan Rangkuti.  Sub-Balai Penelitian Ternak Grati, Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian .  halaman : 45 – 52.
Leng, R. A. , 2002, Future Direction Of Animal Protein Production In A Fossil Fuel Hungry World.  Livestock Research for Rural Development 14 (5).
Makkar, H.S.P.  and Becker, K, 1996.  Nutritional Value and Antinutritional Components Of Whole And Extracted Moringa Oleifera Leaves. Anim. Feed. Sci. Tech. 63 : 211 - 228
Nicholas, F.W. ,1996.  Genetice Improvement Through Reproductive Technology. Anim. Repro. Sci. 42 : 205 - 214
Orskov, E.R. , 1993  Reality Of Rural Development Aid With Emphasis On Livestock. Published by Rowett Research Services Ltd. Aberdeen. U.K.
Robinson, J.J. , 1996.  Nutritional And Reproduction. Anim. Repro. Sci.  42 : 25 - 34
Soehadji, 1995.  Pengembaangan Bioteknologi Peternakan : Keterkaitan Penelitian, Pengkajian dan Aplikasi.  Procceding : Lokakarya Bioteknologi Peternakan. Departemen Peternakan dan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Koordinator Jaringan Kerja, Pengembangan Bioteknologi Peternakan, Ciawi 23 – 24 Januari 1995.  halaman 43 – 105.
Soetanto, H. , 1991.  Glucose Metabolism In Ruminants Consuming Low Quality Straw . Ph.D. Thesis University of Queensland, Australia.
Shrestha, N.P. , 1991.  Potential and Prospects od Straw Feeding In Ruminant Production System In The Eastern Hills of Nepal.  Procceding : Utisation of Straw In Ruminant Production System.  A Workshop Held at The Malaysian Agriculture Research And Development Institute, NR! Overseas Development Administration., pp : 87 – 100.
World Bank, 2001.  Indonesia : The Impertive For Reform. Brief for the Consultative Group on Indonesia. Report No. 23092-INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar